Monday, September 28, 2015

Karakter Korawa dalam Diri Manusia: Shakuni

nyamenusanet.blogspot.com - Kejahatan Sekarang Tidak Banyak Berbeda Dengan Kejahatan Masa Lalu
“Diperkirakan perang Bharatayudha terjadi sekitar 5000 tahun yang lalu. Pada waktu itu sudah ada tokoh yang terkenal culas yaitu Shakuni, patih dari Kerajaan Hastina. Pada saat ini pun masih banyak tokoh yang berkarakter serupa sehingga : “Sejarah berulang. Para pelakunya mungkin berubah, namun jalan ceritanya kurang lebih masih sama. Panggungnya juga masih sama. Ini mengherankan bagi saya, betapa umat manusia tidak banyak berubah selama 5000 tahun terakhir. Kita membuat kesalahan-kesalahan yang sama, blunder yang sama. Kita melakukan kejahatan-kejahatan yang sama.”

Shakuni yang Culas
Shakuni sangat benci kepada Pandu dan keturunannya, Pandawa karena dia sebetulnya menginginkan Kunti sebagai istrinya akan tetapi kalah bersaing dengan Pandu. Shakuni juga tersinggung, karena Gendari, adiknya yang seharusnya menjadi istri Pandu, oleh Pandu dihadiahkan kepada Destarastra yang kedua matanya buta.
Shakuni adalah tokoh politik yang ambisius, culas dan menghalalkan segala cara dalam mencapai ambisinya. Shakuni ahli dalam membuat rekayasa, untuk menghancurkan Pandawa. Karena menginginkan jabatan patih, Shakuni pernah menjebak patih Hastina sebelumnya, Gandamana masuk dalam sumur perangkap dan kemudian menimbun sumur tersebut dengan batu. Kepada Pandu yang waktu itu menjadi Raja Hastina, dia bilang Gandamana tidak cakap memimpin pasukan dan telah tewas dalam pertempuran, sehingga Shakuni diangkat sebagai patih menggantikan Gandamana. Ternyata Gandamana masih hidup dan datang ke Hastina memukuli Shakuni hingga babak belur dan cacat.

Shakuni juga figur amoral
Ketika Bhagawan Abhyasa membagi Minyak Tala yang membuat kulit menjadi kebal, para Korawa tidak mau antri dan berdesak-desakan sehingga Kunti pingsan. Shakuni mendapat kesempatan sambil berdesak-desakan menyingkap kain penutup dada Kunti. Setelah sadar Kunti mengutuk, dia tidak akan memakai kain penutup dada lagi kecuali yang dibuat dari kulit Shakuni dan mulai saat itu Kunti memakai jubah bekas dari Bhagawan Abhyasa. Shakuni juga pernah meracun Bhima dan kemudian bersama para Korawa menceburkan Bhima ke Sumur Jalatundha yang banyak binatang berbisa. Akan tetapi ternyata gigitan binatang-binatang berbisa tersebut justru menawarkan racun Bhima sehingga Bhima bertambah kuat. Shakuni juga pernah mengatur rekayasa permainan dadu sehingga Pandawa kalah dan Drupadi istri Pandawa dipermalukan dan Pandawa diasingkan selama 12 tahun.
Masih adakah orang yang membuat rekayasa menjatuhkan atasannya untuk menggantikan jabatannya? Masih adakah orang yang membuat rekayasa untuk menjatuhkan orang lain? Jiwa Shakuni mungkin sudah merasuki banyak orang sehingga ada kerjasama beberapa pejabat yang mendukung suatu rekayasa.

Shakuni dalam Diri
Dalam diri kita pun mungkin jiwa Shakuni masih hidup. Bila kita membuat rekayasa demi keuntungan pribadi dan tidak peduli pada pihak yang dirugikan maka jiwa Shakuni pun masih berkembang dalam diri. Semua karakter dalam Mahabharata ada potensinya dalam diri kita semua. Baik karakter Korawa maupun karakter Pandawa ada dalam diri kita. Pada zaman dulu Korawa dan Pandawa terpisah, sekarang mereka sudah menyatu dalam diri kita. Semoga pikiran kita jernih dan mau melakoni nasehat Sri Krishna yang juga ada dalam diri kita.

Menghadapi Shakuni dalam Perang Bharatayudha
Dalam perang Bharatayudha, Shakuni ternyata tidak dapat dilukai, bahkan panah Arjuna pun tidak mempan. Bhima pun berkali-kali membanting Shakuni, akan tetapi tubuh Shakuni nampaknya kebal. Krishna mengingatkan Bhima tentang Shakuni yang pernah berguling-guling membasahi kulit tubuhnya dengan minyak tala yang tumpah dari Bhagawan Abhyasa. Bhima akhirnya membuka mulut Shakuni dan mengupas kulit Shakuni dan akhirnya Shakuni mati mengenaskan. Kisah-kisah versi leluhur memang terasa sadis, akan tetapi mungkin itu adalah salah satu cara untuk menyadarkan mereka yang bergelimang dengan kekerasan. Bahasa kelembutan tidak dapat dipahami mereka.
“Paham Tanpa Kekerasan atau Ahimsa tidak berarti kita menerima kejahatan, ketidakadilan, kezaliman, dan sebagainya. Seorang sanyasi memang menjalankan ahimsa, tetapi tidak berarti ia menerima kejahatan dengan cara membisu dan berdiam diri. Bagaimana tanggung jawab sosial seseorang ketika ia memaafkan? Seorang penjahat yang dimaafkan itu bukannya sadar, malah menjadi lebih ganas, lebih buas, lebih liar. Ia pikir dirinya bisa berbuat apa saja dan akan selalu dimaafkan. Dari penjahat kelas teri ia akan menjadi penjahat kelas kakap. Dalai Lama menjawab bahwa bukan demikian maksudnya, Seperti halnya kita (orang-orang Tibet yang terpaksa hidup dalam pengasingan) memaafkan China. Berarti kita berupaya untuk tidak memiliki perasaan negatif terhadap mereka. Tetapi tidak berarti kita menerima perilaku mereka yang salah. Memaafkan tidak sama dengan menerima kejahatan. Jika Anda menerima kejahatan, maka Anda sendiri menjadi jahat. Seseorang yang menerima sampah, menjadi tong sampah.

Memperbaiki Karakter Shakuni dalam Diri
“Zaman dahulu, yang baik dan yang buruk adalah dua kelompok yang terpisah. Mereka dapat dengan mudah dikenali. Kita tidak perlu berpikir dua kali sebelum memberi ganjaran pada yang baik, dan memberi hukuman pada mereka yang buruk. Sekarang, sudah lain ceritanya. Yang baik dan yang buruk eksis di dalam diri orang yang sama. Kita mesti mengembangkan sebuah sistem baru yang lebih sesuai dengan tuntutan zaman. Ketimbang memberi ganjaran atau hukuman pada seseorang, marilah kita tingkatkan kesadarannya. Orang yang sadar tidak akan berbuat kesalahan. Orang yang sadar menjadi baik bukan karena takut atau karena iming-iming ganjaran, tetapi karena pemahaman, karena kesadaran yang mendalam bahwa menjadi baik adalah hal yang baik.”

sumber : www.facebook.com/agungjoni

Karma Buruk Karna, Karena Kehidupan Masa Lalu? Hukum Aksi-Reaksi atau Sebab-Akibat

nyamenusanet.blogspot.com - “Hukum alam adalah bahasa dunia. Bila lahir dalam dunia dan hidup di dunia ini, kita harus memahami bahasanya. Bila kita menebang pohon seenaknya, banjirlah akibatnya. Itu salah satu contoh dari hukum aksi-reaksi atau sebab-akibat. Dan, ingat itu baru menebang pohon. Bila kita menjadi pembunuh manusia dan makhluk-makhluk hidup lainnya, jangan kira kita akan lolos dari hukuman. Jangan pula mencari pembenaran, bahwa kita membunuh demi … atau untuk … dan atas nama … Mau mencari pembenaran sih boleh-boleh saja, asal tahu bahwa itu tidak akan meringankan hukuman kita. Mengapa nasib buruk selalu menaungi Karna? Apakah hal tersebut tidak terlepas dari hukum sebab-akibat? Apakah Karna sering membunuh dan menyusahkan orang di masa lalunya?

Nasib Buruk Selalu Menaungi Karna
Karna adalah tokoh kontroversial, terlunta-lunta sejak bayi dibuang ibunya, putra Dewa Surya ini selalu memperoleh takdir buruk, dimusuhi Gurunya, direndahkan status kastanya, bahkan diperdaya para dewa dan bahkan oleh Sri Krishna. Hanya Duryodhana, Raja Hastina yang mengangkat derajatnya sebagai Raja Angga, sehingga demi membalas budi kebaikan ia rela mengorbankan nyawa. Sebagai putra Sang Surya, jelas dia adalah ksatria hebat, akan tetapi dalam dirinya juga ada karakter asura masa lalu yang membuatnya menerima nasib buruk.

Adalah Remaja Kunti yang mencoba mantra pemberian Resi Durvasa memanggil Dewa Surya sehingga dia hamil tanpa berhubungan suami istri. Malu akibatnya, sang bayi yang lahir dengan baju lapis baja dan anting-anting tersebut diletakkan dalam keranjang dan dihanyutkan dalam kali. Ditemu dan dibesarkan oleh sais istana Adhiratha dan istrinya Radha, Karna disebut Radheya Putra.
Sebagai remaja berdarah ksatria ia mendekati Drona agar diterima menjadi murid, akan tetapi ditolak karena statusnya sebagai putra angkat sais istana. Menyaru sebagai brahmana remaja, Karna memperoleh pengetahuan senjata dari Parashurama. Pada suatu saat Parashurama tiduran di pahanya, dan seekor kalajengking menggigit pahanya. Agar gurunya tidak bangun, Karna menahan sakit. Sewaktu Parashurama bangun dan mengetahui peristiwa tersebut, sang guru tahu bahwa seseorang yang kuat menahan sakit dari gigitan kalajengking pastilah bukan keturunan Brahmana dan Karna dikutuk, ilmu senjata yang diberikan sang guru akan tidak diingatnya ketika menghadapi saat kritis hidup-matinya.

Meningkat Derajatnya oleh Duryodhana
Pulang dari berguru pada Parashurama, dia bertemu dengan anak perempuan kecil yang menangis karena susu dalam periuk jatuh ke tanah dan takut dimarahi ibu tirinya. Karna kasihan terhadap anak tersebut, dengan kesaktiannya dia meremas tanah basah dan mengembalikan susu ke periuknya. Mungkin Karna tidak sadar, bila sang anak tidak ditolong, dia akan menjadi lebih berhati-hati di kemudian hari. Seorang anak perlu mengalami berbuat salah sehingga bisa memperbaikinya di kemudian. Dewi Bumi murka karena tindakannya dan mengutuk akan memperangkapnya yang akan menjadi penyebab kematiannya.

Dalam suatu turnamen para Kurawa kalah unggul dibanding Pandawa dan Karna akan ikut membantu Kurawa. Bhisma menolak karena status kastanya, akan tetapi Duryodhana mengatakan bahwa Karna sudah diangkatnya sebagai Raja Angga, dan sebagai saudaranya yang pantas ikut turnamen. Sejak saat itu kehidupan Karna berubah dan menjadi pendukung setia Duryodhana. Pada waktu sayembara memperebutkan Draupadi, Karna ikut tetapi masih ditolak karena status kastanya.
Bhisma dan Drona juga menyalahkan Karna yang selalu mendukung keinginan Duryodhana sehingga sifat Duryodhana semakin jahat.

Kehidupan Masa Lalu Karna
Pada zaman Treta Yuga adalah seorang Raja Asura bernama Dhambodbhava yang kuat bertapa. Dia memohon kepada Dewa Surya agar diberikan hidup keabadian. Surya berkata bahwa hal tersebut berada di luar kemampuannya dan oleh karena itu sang asura minta dia dilindungi oleh seribu baju baja yang hanya apat dirusak oleh manusia yang bertapa selama 1.000 tahun. Surya paham bahwa kesaktian tersebut bisa digunakan sang asura untuk kejahatan, akan tetapi dia mengabulkan juga permintaanya. Dengan kesaktiannya, Dhambodbhava menguasai tiga dunia an dikenal sebagai Sahasrakavacha, dia yang memiliki seribu baju baja.

Dewi Murti putri Daksha kawin dengan Dewa Dharma dan melahirkan putra kembar Nara dan Narayana. Mereka berdua dibesarkan di hutan dan mereka dapat saling merasakan apa yang dihadapi salah satunya. Narayana bertapa lebih dari 1.000 tahun sedangkan Nara suka membantu penduduk dari gangguan perampok. Pada suatu ketika Sahasrakavacha menyerang penduduk sekitar hutan tersebut dan berkelahi dengan Nara. Nara ternyata sangat kuat. Sebuah baju bajanya pecah dan beberapa saat kemudian Nara dapat dibunuhnya. Akan tetapi Narayana yang telah ribuan tahun bertapa dan memperoleh mantra Maha Mritunjaya dapat menghidupkan Nara kembali. Nara kemudian bermeditasi dan Narayana bertarung melawan Sahasrakavacha. Demikian berulang-ulang bila salah seorang mati yang lain menghidupkan sehingga baju baja Sahasrakavacha sudah pecah sejumlah 999 buah. Sahasrakavacha yang hanya mempunyai satu baju baja minta perlindungan Dewa Surya. Dewa Surya melindungi sehingga dikutuk akan lahir ke dunia untuk menyelesaikan karma melindungi Sahasrakavacha.

Pada zaman Dvapara Yuga, Sahasrakavacha bersama Dewa Surya lahir sebagai Karna, sedangkan Nara dan Narayana lahir sebagai Arjuna dan Krishna. Arjuna adalah Putra Kunti yang menggunakan mantra untuk memanggil Indra sehingga Arjuna adalah putra Indra. Jauh sebelum perang Bharatayudha, Indra menyaru sebagai pengemis tua yang minta baju baja Karna. Karna yang tersentuh oleh sang pengemis memberikan baju bajanya yang dipakainya sejak lahir.

Kunti Menemui Karna Menjelang Perang Bharatayudha
Kala Karna melakukan puja di suatu senja menjelang matahari tenggelam, Kunti datang dan menceritakan siapa sebenarnya Karna. Karna bangga bahwa dia bersaudara dengan Pandawa, akan tetapi Karna tidak mau dikatakan sebagai pencuri yang tidak mau membalas budi kebaikan Duryodhana yang telah mengangkat derajatnya. Karna berjanji tiak akan membunuh Pandawa kecuali Arjuna yang merupakan ksatria saingannya sejak remaja.

Kunti mengatakan bahwa dia telah melihat dalam impiannya bahwa Karna akan bertarung dengan Arjuna. Dan peristiwa itu adalah buah karma karena dia telah membuang Karna, malu sebagai putri raja melahirkan putra pada waktu masih perawan. Akan tetapi Kunti telah memasrahkan kehidupannya kepada Sri Krishna. Dan dia akan menghadapi segala peristiwa yang akan menimpanya. Kunti meneteskan air mata dan berpesan agar Karna memperbaiki segala kesalahan yang telah diperbuatnya karena mendukung kejahatan Duryodhana dan Kurawa. Karna mengangguk pelan dan meneteskan air mata. Senja itu Karna mohon maaf kepada Dewa Surya, dan hanya ingin berperang membalas budi kebaikan sampai mati.

Perang Bharatayudha
Karna dilarang Bhisma ikut perang Bharatayudha, karena tahu bahwa Karna sebenarnya adalah putra Kunti dan bersaudara dengan Pandawa. Setelah kematian Bhisma dan Drona diangkat sebagai Panglima baru, Karna baru ikut perang. Karna mempersiapkan senjata khusus yang dapat mengejar musuh yang berlari sampai mana pun untuk berperang melawan Arjuna. Akan tetapi Gatotkaca disuruh Krishna memporak-porandakan pasukan Kurawa. Duryodhana segera minta tolong Karna agar pasukan Kurawa tidak hancur. Karna terpaksa menggunakan senjata pamungkasnya untuk membunuh Gatotkaca dan tidak punya senjata pamungkas lagi saat berhadapan dengan Arjuna.
Saat berhadapan dengan Arjuna, pertempuran berjalan dengan sengit, keduanya ahli memainkan senjata. Pada suatu saat roda keretanya terperosok, karena dipegang Dewi Bumi, Karna ingin membaca mantra dari Parashurama, akan tetapi dia lupa semuanya. Dan, kemudian Karna turun memeriksa roda kereta. Arjuna ragu memanah, akan tetapi Sri Krishna berkata tidak ada gunanya kasihan kepada orang yang tak punya kasih, Arjuna diingatkan bahwa Draupadi pernah dipermalukan Kurawa karena mau ditarik kain sarinya dan Karna hanya tertawa-tawa. Diingatkan juga bahwa Karna selalu mendukung Duryodhana yang sering berbuat curang terhadap Pandawa. Tiba-tiba Karna ingat Kunti, ibunya dan Dewa Surya, ayahandanya dan saat itu juga Karna mati karena dadanya ditembus panah Arjuna.

Ketidakadilan Krishna alam Perang Bharatayudha
Bukan hanya Krishna, Bunda Ilahi yang mewujud sebagai Mohini juga berpihak terhadap para dewa dan tidak adil terhadap para asura.

Kita melihat tindakan Sri Krishna yang berpihak pada Pandawa dan tidak adil terhadap Kurawa. Krishna mengajarkan beberapa muslihat kepada Pandawa untuk memenangkan perang melawan Korawa. Krishna mempertimbangkan para Pandawa yang berperang untuk menegakkan dharma, sedangkan Korawa berperang untuk mempertahankan status quo Kerajaan Hastina bagi kepentingan pribadi/kelompok mereka.

Agar Krishna dan Bunda Ilahi berpihak kepada kita, kita perlu melakukan pekerjaan tanpa pamrih pribadi. Resi Agastya mengajarkan agar kita berupaya menjadi devoti Bunda Illahi dengan selalu berbuat “Good Karma”, Nishkama Karma, selfless service, berkarya demi kepentingan alam semesta an jauh dari kepentingan pribadi. Semangat selfless service atau berkarya tanpa pamrih pribadi, dan volunteerism atau jiwa kerelawanan bukanlah sesuatu yang baru bagi kita. Semangat gotong-royong adalah bagian dari budaya kita.

“Bhagavad Gita 3:12: Berkarya dengan semangat Pelayanan dan Kerelawanan itulah yang disebut semangat manembah atau ‘sembahyang’ oleh Bhagavad Gita. Setiap pekerjaan yang dilakukan dengan semangat itu menjadi persembahan kepada Hyang Maha Kuasa. Jadi, kita tidak lagi berkarya demi kepentingan diri, keluarga, kelompok, negara, dunia, atau apa saja – tetapi berkarya dengan semangat persembahan. Ketika itu yang terjadi, maka, puas dengan apa yang kau lakukan, alam semesta akan memenuhi segala kebutuhanmu.”

sumber : www.facebook.com/agungjoni

Tuesday, September 22, 2015

Sejarah Bali (Putusnya Bali dengan Jawa yang mula-mula menjadi satu daratan)

nyamenusanet.blogspot.com - Kebanyakan orang-orang menduga, bahwa pulau Bali dengan pulau Jawa asal mulanya menjadi satu daratan. Akan tetapi kapan putusnya kedua pulau itu  , sehingga sekarang terdapat Selat Bali, para achli tiada dapat menentukannya.
          Kisah perjalanannya rombongan Markandeya ketika melakukan perpindahan dari Jawa ke Bali, sama sekali tiada menyebutkan tentang perjalanan mereka itu mempergunakan alat-alat pengangkutan dilaut untuk menyeberang. Hal itu mempertebal kepercayaan orang-orang, bahwa kedua pulau itu bekas menjadi satu daratan, sehingga memungkinkan orang-orang Bali Aga itu berjalan kaki menuju ketempat tanah-tanah yang dibukanya itu.
          Menurut uraian seuah kitab bernama “Usana Bali” , bahwa putusnya pulau Jawa dengan pulau Bali, adalah disebabkan kesaktian seorang Pendita bernama Mpu Sidhimantra.  Pendita itu bertempat tinggal; di Jawa Timur, kersahabat karib dengan seekor ular besar yang bernama  “NAGA  BASUKIH “   Naga itu berliang didesa Besakih yang terletak dikaki Gunung  Agung, merupakan sebuah goa  besar yang dianggap suci. Karena persahabatan itu  Mpu Sidhimantra tiap-tiap bulan purnama raya, selalu datang ke Besakihmendapatkan Naga Basukih dengan membawa madu, susu dan mentega, untuk sahabatnya itu.
          Mpu Sidhimantra mempunyai seorang anak laki-laki bernama Ida Manik Angkeran. Anaknya itu gemar berhudi, tiada menghiraukan nasehat ayahnya Oleh karena dalam perjudian itu sering kalah, sehingga menimbulkan ingatannya yang jahat. Pada suatu ketika menjelang bulan purnama raya, Mpu Sidhimantra kebetulan sakit, tiada sanggup  mendapatkan sahabatnya pergi ke Bali. Kesempatan itu dipergunakan oleh Ida Manik Angkeran untuk memuaskan nafsunya mencari  modal untuk berjudi. Sebuah  “ bajra”  kepunyaan ayahnya lalu diambilnya dengan diam-diam, tanpa ijin orang tuanya ia lalu pergi ke Bali mendapatkan Naga Basukih sahabat ayahnya itu. Sampai disana ia lalu duduk bersila sambil membunyikan  “bajra”  yang dibawanya itu sehingga Naga Basukih keluar dari liangnya.
          Atas pertanyaan ular besar itu, Ida Manik Angkeran lalu menerangkan, bahwa ayahnya masih sakit, oleh karena itu ia menjadi wakilnya membawa pasuguh berupa madu, susu dan mentega, yang biasa dihidangkan oleh ayahnya tiap-tiap bulan. Pemberian Ida Manik Angkeran itu diterima oleh Naga Basukih dengan senang hati, kemudian ditanyakan kepadanya, apa yang dikehendakinya untuk bekalnya pulang kembali ke Jawa. Ida Manik Angkeran menjawab, bahwa ia tiada minta apa-apa, seraya dipersilakannya Naga Basukih supaya masuk kegoanya, sebelum ia mohon diri.
          Naga Basukih lalu masuk kegoanya, sedang ekornya yang begitu panjang  sebagian masih berada diluar. Ida Manik Angkeran kagum melihat sebuah batu permata besar yang melekat pada ujung ekor Naga Basukih itu, sehingga menimbulkan hasratnya  hendak mengambil  batu permata yang tiada ternilai harganya itu.  Terpikir olehnya, bahwa batu permata itu cukup nanti dipakainya berjudi seumur hidup. Sejenak berpikir demikian, ekor Naga Basukih itu lalu dipenggalnya batu permata itu lalu dibawanya lari.
          Akan tetapi baru ia sampai dihutan  “Camara Geseng”  tiba-tiba ia mati hangus terbakar, karena bekas jejak kakinya dapat dijilat  oleh Naga Basukih yang sedang marah itu. Sekarang tersebutlah Mpu Sidhimantra , cemas mengenangkan  nasib  anaknya sudah lama tiada pulang-pulang, sedang  “bajra”  pusakanya telah hilang.Ia lalu pergi mendapatkan sahabatnya itu, seraya menanyakan keadaan anaknya yang sudah lama tidak pernah pulang.
          Naga Basukih lalu menerangkan kepada sahabatnya itu, bahwa Ida Manik Angkeran sudah mati, lantaran keberaniannya memenggal ekornya yang berisi batu permata. Mpu Sidhimantra menyesali perbuatan anaknya itu, seraya bermohon kepada sahabatnya itu supaya dosa anaknya itu suka diampuninya. Ia berjanji kepada sahabatnya itu, apabila anaknya itu dapat dihidupkan kembali, biarlah Ida Manik Angkeran selama hidupnya tinggal di Bali untuk menjadi abdipura Besakih sebagai  “Pemangku”  (penyelenggara upacara di pura). Permintaan Mpu Sidhimantra diluluskan, maka Ida Manik Angkeran lalu hidup kembali berkat kesaktian Naga Basukih itu.
          Maka semenjak itulah Ida Manik Angkeran disuruh oleh ayahnya supaya bertempat tinggal di Bali, tiada dibolehkan lagi pulang ke Jawa. Mpu Sidhimantra pulang kembali ke Jawa, setelah anaknya hidup lagi sebagai sediakala. Maka untuk mencegah kemungkinan  anaknya itu  akan menyusul perjalanannya , lalu digoreskanlah tongkatnya, sehingga daratan pulau Bali dengan pulau Jawa menjadi putus  karenanya. Demikianlah ceriteranya, asal mulanya ada Selat Bali yang disebut  “SEGARA RUPEK”
          Ceritera kitab itu merupakan dongeng dan tachyul, tetapi kenyataannya sukar dibantah. Keturunan Ida Manik Angkeran itu disebut  “Ngurah Sidemen”  ternyata sampai kini berkewajiban menjadi  “Pemangku”  di Pura Besakih.
          Penulis bangsa Eropah bernama Raffles , Hageman  dan R. Van Eck, sama-sama membenarkan, bahwa Bali dan Jawa bekasnya menjadi satu daratan, oleh bencana alam yang disebabkan meletusnya sebuah gunung berapi, maka terjadilah gempa bumi besar, sehingga daratan kedua pulau itu menjadi putus.
          Mereka menerangkan, bahwa peristiwa itu terjadi di alam abad ke XIII *). Akan tetapi sayang keterangan mereka itu kurang jelas, gunung mana yang dikirakan meletus oleh mereka itu. Hasil penyelidikan menyatakan, bahwa sepanjang pantai Selat Bali itu, sekarang banyak terdapat  mata air panas berbau belerang. Kemungkinan disana dahulu terdapat sebuah gunung berapi yang sudah meletus.Diantara mata air panas itu sebuah disebut : Banyu Wedang, artinya air panas.  
          Sementara itu terdapat sebuah kitab bernama : Nagara-Kertagama karangan Prapanca, menerangkan bahwa putusnya pulau Jawa dengan pulau Madura terjadi dalam tahun Úaka 124. Bilangan tahun Úaka itu mempergunakan perhitungan  “candra-sangkala”  yaitu dengn perkataan yang berbunyi “ samudra nanggung bumi “  Keterangan kitab itu  sesuai  dengan pernyataan sebuah kitab bernama : “Wawatekan” yang menerangkan bahwa  “segara rupek”  itu , ialah “segara nanggung bumi”. Baik  “samudra”  maupun  “sagara”  sama artinya dengan lautan atau selat. Kedua perkataan itu sama dengan angka  4, menurut perhitungan tahun Candra-sangkala. Perkataan “nanggung” sama dengan angka  2. Sedang perkataan  “bumi” sama dengan angka  1. Oleh karena caranya menghitung angka-angka itu harus berbalik, maka terjadilah bilangan tahun Úaka 124, atau tahun Masehi 202.
          Meskipun kitab-kitab itu sudah menerangkan demikian, namun pernyataan itu tiada dapat dipakai pegangan yang kuat, untuk mnentukan putusnya Pulau Bali dengan Pulau Jawa  memang terjadi semasa itu. Mustahil Prapanca tiada menyebutkan dalam kitab karangannya itu,   bahwa putusnya Pulau Bali dengan Pulau Jawa bersamaan waktunya, apabila memang benar demikian halnya.-
          Dalam pada itu seorang penulis bernama  C.W. Laedbeater  menerangkan didalam sebuah kitab karangannya bernama: “The Occult  History of Java”  bahwa putusnya Pulau Jawa dengan Pulau Sumatra terjadi dalam tahun Masehi 915 (meletusnya Gunung Krakatau), yang menyebabkan  putus kedua pulau tersebut. Dapatlah keterangan penulis itu dipakai sandaran untuk menyatakan, bahwa putusnya Pulau Bali dengan Pulau Jawa terjadi pada waktu itu? Memang jikalau ditilik  dari letak  ketiga pulau itu (Sumatera, Jawa dan Bali) seakan-akan berangkai hanya dipisahkan oleh selat-selat yang sempit, tidaklah mustahil kejadian di Selat Sunda dapat dipengaruhi keadaan di Selat Bali.
          Sementara kitab-kitab itu tiada memberi ketegasan waktu mana kiranya putusnya Pulau Jawa dengan Pulau Bali terjadi, maka pendapat umum lebih condong mempercayai theori ilmu bumi. Pada zaman dahulu sebagian besar kepulauan Indonesia belum ada, masih bersatu dengan benua Asia, maka pada suatu ketika yaitu pada achir  zaman es, konon katanya gunung-gunung es  yang terdapat dikutub Utara dan dikutub  Selatan menjadi cair, sehingga permukaan laut naik dan merendam daerah-daerah yang rendah.
          Oleh karena itu terjadilah lautan Tiongkok Selatan, laut Jawa,  dan Selat Malaka. Kemungkinan ketika itulah terjadinya Selat Bali itu, lantaran dataran disana rendah, turut terendam air laut  yang sedang pasang itu.  Jika memang demikian halnya, sudah tentu putusnya Pulau Bali dengan Pulau Jawa itu terjadi beberapa ratus abad  sebelum tarich Masehi.
          Demikianlah keterangan-keterangan yang diperoleh mengenai hal ichwal putusnya Pulau Bali dengan Pulau Jawa itu, namun para achli belum ada yang berani menerangkan, kapan sebenarnya peristiwa itu terjadi. Baiklah hal itu dipakai sebagai gambaran saja, untuk meraba-raba , bahwa kedua pulau itu pada suatu masa kiranya memang benar mula-mula menjadi satu daratan - -
_____________________
*) Raffles  menerangkan , bahwa putusnya pulau Bali dengan pulau Jawa terjadi didalam tahun 1204. Hageman menerangkan terjadi dalam tahun 1293. Sedang R. van Eck menerangkan terjadi  dalam tahun 1298 . Keterangan mereka itu menurut perhitungan tahun Masehi.-                  

sumber : https://www.facebook.com/notes/i-love-hindu-bali-apapun-yang-terjadi/sejarah-bali-bagian-3-putusnya-bali-dengan-jawa-yang-mula-mula-menjadi-satu-dara/525729310781000