Tuesday, January 27, 2015

Kuburan Wangi Hanya ada di Trunyan Kintamani - Bali

nyamenusanet.blogspot.com - Bangli - Bayangkan tengkorak bertebaran di atas tanah, namun tak sedikit pun bau bangkai tercium. Inilah keunikan kuburan di Desa Trunyan, Kabupaten Bangli, Bali. Mayat di sini tak ada yang dikubur, namun udaranya semerbak wangi.

Pintu Gerbang Masuk Kuburan Trunyan Kintamani-Bali
Desa Trunyan punya kuburan yang unik. Alih-alih dimakamkan, atau dibakar layaknya upacara Ngaben ala Bali, jenazah di Desa Trunyan dibiarkan begitu saja di atas tanah. Mayat-mayat ini hanya ditutup ancak saji yang terbuat dari dedaunan.

Tapi anehnya, tak ada bau bangkai tercium di sini. Padahal tengkorak dan tulang-belulang berserakan di banyak tempat. Tak ada pula aroma bunga kamboja seperti yang umum tumbuh di pemakaman. Penyebabnya adalah Taru Menyan, pohon raksasa asal nama Trunyan.

Saat detikTravel menyambangi Kuburan Trunyan beberapa waktu lalu, cuaca cukup terik dan berangin. Pohon Taru Menyan berdiri tegak di tengah kuburan, daunnya melambai-lambai terkena angin. Pohon besar inilah yang konon menghasilkan aroma semerbak, menghilangkan bau bangkai di udara.

Menurut legenda, Taru Menyan-lah yang wanginya menghipnosis 4 bersaudara dari Keraton Surakarta untuk mengarungi daratan dan lautan hingga tiba di Desa Trunyan. Singkat cerita, 4 bersaudara itu terdiri dari 4 laki-laki dan si bungsu perempuan. Setibanya di Trunyan sang kakak sulung jatuh cinta kepada Dewi penunggu pohon tersebut.

Setelah menikah, jadilah Trunyan sebuah kerajaan kecil. Meski sang Dewi penunggu pohon telah menikah, Taru Menyan masih mengeluarkan wangi. Akibat takut diserang dari luar karena semerbak wanginya, sang Raja memerintahkan warga untuk menghapus wangi itu dengan cara meletakkan jenazah begitu saja di atas tanah.

Akar Taru Menyan menjulur ke berbagai tempat, salah satunya tempat deretan ancak saji berisi mayat. Di sekitar ancak saji terdapat benda-benda peninggalan mendiang. Ada foto, piring, sapu tangan, baju, perhiasan, dan lain-lain.

Tradisi membiarkan jenazah tanpa dikubur ini sudah ada ratusan tahun lamanya. Namun dengan syarat, mayat harus utuh dan meninggal secara normal. Tak ada luka atau penyakit. Layak atau tidaknya seseorang 'dikubur' di Trunyan juga dilihat dari baik atau buruknya perilaku orang tersebut semasa hidup.

Jumlah jenazah yang ditutup ancak saji hanya 11, tak akan bertambah maupun berkurang. Jika sudah penuh, tulang-tulangnya digeser sehingga tengkorak pun berkumpul di bagian ujungnya.

Meski menyeramkan, tak sedikit wisatawan yang penasaran dan ingin melihat sendiri Kuburan Trunyan. Mencapai tempat ini juga tergolong gampang. Anda bisa menyewa perahu dari Dermaga Kedisan di salah satu sisi Danau Batur, langsung menuju Kuburan Trunyan. Harga per perahunya mulai Rp 100.000-200.000, dengan waktu tempuh sekitar 30 menit sekali jalan. Perahu ini bisa membawa sampai 5 wisatawan sekali jalan.
Mayat di Gletakkan di atas Tanah, Kuburan Trunyan Kintamani-Bali
Sumber : http://travel.detik.com/read/2014/03/13/130825/2524566/1519/kuburan-wangi-hanya-ada-di-desa-trunyan-bali

Mayat Tanpa di Kubur "Tradisi Masyarakat Trunyan Kintamani-Bali"

Desa Trunyan, Kintamani - Bangli
nyamenusanet.blogspot.com - Desa Trunyan merupakan sebuah desa kuno di tepi danau Batur, Kintamani,Kabupaten Bangli. Desa ini merupakan sebuah desa Bali Aga, Bali Mula dengan kehidupan masyarakat yang unik dan menarik Bali Aga, berarti orang Bali pegunungan, sedangkan Bali Mula berarti Bali asli. Kebudayaan orang Trunyan mencerminkan satu pola kebudayaan petani yang konservatif.

Berdasarkan folk etimologi, penduduk Trunyan mempersepsikan diri dan jati diri mereka dalam dua versi. Versi pertama, orang Trunyan adalah orang Bali Turunan, karena mereka percaya bahwa leluhur mereka ‘turun’ dari langit ke bumi Trunyan. Terkait dengan versi ini, orang Trunyan mempunyai satu mite atau dongeng suci mengenai asal-usul penduduk Trunyan adalah seorang Dewi dari langit. Versi kedua, orang Trunyan hidup dalam sistem ekologi dengan adanya pohon Taru Menyan, yaitu pohon yang menyebarkan bau-bauan wangi. Dari perdaduan kata “taru” dan “menyan” berkembang kata Trunyan yang dipakai nama desa dan nama penduduk desa tersebut.

Desa Trunyan terletak di sebelah timur bibir danau Batur, letak ini sangat terpencil. Jalan darat dari Penelokan, Kintamani, hanya sampai di desa Kedisan. Dari Kedisan ke desa Trunyan orang harus menyeberang danau Batur selama 45 menit dengan perahu bermotor atau 2 jam dengan perahu lesung yang digerakkan dengan dayung. Selain jalan air, Trunyan juga dapat dicapai lewat darat, lewat jalan setapak melalui desa Buahan dan Abang. Hawa udara desa Trunyan sangat sejuk, suhunya rata-rata 17 derajat Celcius dan dapat turun sampai 12 derajat Celcius. Danau Batur dengan ukuran panjang 9 km dan lebar 5 km merupakan salah satu sumber air dan sumber kehidupan agraris masyarakat Bali selatan dan timur.

Secara spesifik, terkait dengan kepercayaan orang Trunyan mengenai penyakit dan kematian, maka cara pemakaman orang Trunyan ada 2 macam yaitu:
  1. Meletakkan jenazah diatas tanah dibawah udara terbuka yang disebut dengan istilah mepasah. Orang-orang yang dimakamkan dengan cara mepasah adalah mereka yang pada waktu matinya termasuk orang-orang yang telah berumah tangga, orang-orang yang masih bujangan dan anak kecil yang gigi susunya telah tanggal.
  2. Dikubur / dikebumikan. Orang-orang yang dikebumikan setelah meninggal adalah mereka yang cacat tubuhnya, atau pada saat mati terdapat luka yang belum sembuh seperti misalnya terjadi pada tubuh penderita penyakit cacar, lepra dan lainnya. Orang-orang yang mati dengan tidak wajar seperti dibunuh atau bunuh diri juga dikubur. Anak-anak kecil yang gigi susunya belum tanggal juga dikubur saat meninggal. 

Kuburan di Trunyan Kintamani - Bali
Untuk keperluan pemakaman, di desa Trunyan terdapat 1 kuburan yaitu:
  • Sema wayah diperuntukkan untuk pemakaman jenis mepasah
  • Sema bantas, diperuntuukan untuk dengan penguburan.
  • Sema nguda, diperuntukkan untuk kedua jenis pemakaman yaitu mepasah (exposure) maupun penguburan.
Suku Trunyan, punya tiga cara unik menangani mayat, diupacarai yang setara dengan upacara ngaben di tempat lain:
  • Untuk yang meninggal adalah Bayi, maka mayatnya dikubur, lokasinya disebut Sema Muda, kira-kira 200 meter-an ke sebelah kanan lagi namun sebelum desa trunyan dari arah sekarang ini.
  • Untuk yang meninggal adalah orang yang kecelakaan, dibunuh atau bukan karena mati normal. Maka mereka anggap itu mempunyai kesalahan besar. Lokasi mereka di kubur [Sema bantas] adalah di perbatasan antara desa Trunyan dan Desa abang. Letaknya Jauh dari tempat kami sekarang.
  • Untuk yang mati normal, Mayat mereka diberi kain putih dan hanya diletakan dibawah Taru Menyan [Pohon wangi]. Maksudnya mati normal adalah tidak punya salah/kesalahan sesuatu, diluar kreteria di atas.
Pemakaman Mayat dengan di Gletakkan di atas Tanah
Mayat itu diletakan di atas tanah dengan lubang yang sangat dangkal [kira-kira 10 - 20 cm]. Tujuannya supaya tidak bergeser-geser [karena bidang tanah ditempat itu tidaklah dapat disebut datar]. Jumlah maksimum mayat yang diperkenankan ada di bawah pohon taru menyan adalah 11 mayat. Alasannya adalah mayat yang ke 12 dan seterusnya, akan berbau . Baunya tempo-tempo ada…tempo-tempo tidak.

Bisa jadi itu disebabkan keterbatasan bau yang dapat diserap oleh taru menyan tersebut, yaitu kurang lebih sekitar 11 x 60 kg [asumsi berat rata-rata mayat] = 660 kg. Sehingga untuk menyerap mayat berikutnya menjadi tidak maksimal. Walaupun mayat itu mati normal sekalipun, namun jika tidak sepenuhnya bersih dalam artian bersih dari kesalahan, maka bau mayat akan tetap ada walaupun tempo-tempo ada dan tempo-tempo tidak. Bukan cuma itu, mayat yang ‘ada kesalahan’ itu, lebih cepat busuk dari mayat yang lain [rata-rata pembusukan normal adalah 2 bulanan].

Penjelasan mengapa mayat yang menggeletak begitu saja di sema itu tidak menimbulkan bau padahal secara alamiah, tetap terjadi penguraian atas mayat-mayat tersebut ini disebabkan pohon Taru Menyan tersebut, yang bisa mengeluarkan bau harum dan mampu menetralisir bau busuk mayat. Taru berarti pohon, sedang Menyan berarti harum. Pohon Taru Menyan ini, hanya tumbuh di daerah ini. Jadilah Tarumenyan yang kemudian lebih dikenal sebagai Trunyan yang diyakini sebagai asal usul nama desa tersebut.

Sumber : http://endahdolls.blogspot.com/2011/05/kebudayaan-bali-tradisi-masyarakat-desa.html

Monday, January 26, 2015

Tajen "Sabung Ayam" dalam Kehidupan Masyarakat Bali

nyamenusanet.blogspot.com - Beberapa antropolog asing pernah menulis perihal keunikan sabung ayam yang ada pada masyarakat Bali. Di antara mereka adalah G. Bateson dan M. Mead dalam karyanya, Balinese Character: A Photographic Analysis (1942); J. Belo “The Balinese Temper” dalam Traditional Balinese Culture (1970), aslinya diterbitkan pada tahun 1935); dan C.Geertz dan H. Geertz dalam The Interpretation of Cultures: Selected Essays (1974). Bagi mereka sabung ayam yang berfungsi sebagai tabuh rah semata maupun untuk memenuhi fungsi sekuler lainnya adalah kenyataan kultural dan simbolis.

Tajen Sabung Ayam Bagian dari sebuah Tradisi
 1. Sebagai sesuatu yang simbolis, sekalipun yang bertarung hanya jago-jago (siap), tetapi sesungguhnya yang bertarung di sana adalah manusia-manusia dengan segala lelucon, pembicaraan yang dangkal, dan pelepasan berbagai ketegangan. Di dalamnya terjadi permainan dan penyaluran kekerasan, relasi kekuasaan dan perayaan hasrat akan kemenangan, dan berbagai bentuk histeria yang tidak mungkin disalurkan dalam dunia kehidupan norma dan nilai. Malahan Bateson dan Mead menyatakan paralel dengan konsep orang Bali tentang tubuh sebagai seperangkat bagian-bagian berjiwa dan terpisah-pisah, jago dianggap sebagai zakar yang dapat ditanggalkan, yang dapat bergerak sendiri sebagai alat kelamin yang berjalan-jalan, dan hidup. Geertz malahan menyatakan lebih tegas bahwa jago adalah simbol kejantanan par excellence, ibarat kepastian bahwa air mengalir menuruni bukit.

Kedekatan orang Bali dengan sabung ayam (tajen) atau keakraban orang Bali dengan jago-jago mereka lebih daripada sekadar metaforis. Sebagian besar orang Bali menghabiskan waktu mereka untuk merawat, memberi makan, membicarakan akan ketangguhan, mencoba satu sama lain, dan menatap jago mereka dengan kekaguman dan lamunan mengasyikan serta menerawang penuh harap. Sang jago diperlakukan secara khusus, baik berkaitan dengan makan, cara memandikan, dan memelihara bulu-bulu mereka. Seorang laki-laki yang keranjingan jago, seorang yang antusias dalam arti harfiah, dapat menghabiskan sebagian besar hidupnya untuk jago-jago itu. Malahan menghabiskan tidak hanya sesuatu yang tampak bagi orang luar, melainkan juga bagi diri mereka sendiri, sejumlah besar waktu untuk jago-jago itu. Demikian antusiasnya gambaran orang Bali terhadap jagonya, sebagaimana diungkapkan Geertz sehingga kita tidak sadar juga telah terbius keantusiasan memegang jago kita masing-masing dalam kesempatan ini.

2. Tajen: Pada Masa Lalu dan KiniTajen sebagai fenomena kultural pada masa lalu terutama diarahkan untuk memenuhi fungsi yadnya, berupa tabuh rah, antara lain tajen nyuh dan tajen taluh. Tajen jenis ini dilaksanakan setelah tari kincang-kincung, berupa tarian dengan sarana tombak dan keris (kadutan) pada menjelang upacara piodalan selesai. Tari dan tajen jenis ini merupakan ekspresi kekerasan dalam bentuk pertarungan hingga menang-kalah karena kekalahan (kematian) pada satu pihak bermakna memberi kemenangan (kehidupan) pada pihak lain. Perang dan kematian adalah kebutuhan rohani, kebutuhan religi. Religi selalu berhubungan dengan metakosmos dan menghadirkan yang “yang di luar sana” itu dalam dunia manusia, agar berkah transenden lebih menghidupkan manusia. Pada dasarnya mereka juga tidak menyukai kematian dan perang. Akan tetapi hidup harus dilakukan seperti itu karena hanya dengan cara itulah hidup ini dimungkinkan. Dengan demikian kehidupan dapat berjalan normal kembali tanpa tekanan, baik fisik maupun psikis. Ini mengandaikan bahwa setiap orang termasuk orang Bali dalam dirinya telah terkandung unsur-unsur kekerasan, bahkan ketegangan-ketegangan yang secara normal harus mendapat saluran pelepasan. Melalui upacara keagamaan yang ditautkan pada kesenian dan tradisi lainnya rupanya, orang Bali memperoleh penyaluran kekerasan dan pelepasan ketegangan hidup yang dialami sehari-hari. Itu sebabnya sabung ayam yang pertama senantiasa dilaksanakan di areal pura. Jika dipandang perlu dilanjutkan maka hal itu diselenggarakan di jabaan pura dengan tetap diikat oleh tata krama yang semestinya berlaku dalam areal pura.

Kalaupun tajen dilaksanakan bukan di kekeran tempat suci dan dalam konteks upacara (dan umumnya dilaksanakan enam bulan sekali) maka sebelum dilaksanakan sambung ayam dapat dipastikan selalu akan didahului dengan upacara keagamaan. Setidaknya dalam areal itu akan dipasang sanggah cucuk yang salah satu maknanya mengingatkan manusia agar dalam menjalani kehidupan yang sarat dengan aspek gambling, senantiasa tetap berada pada koridor kejujuran, etika, sopan-santun, dan hal-hal lain yang berhubungan dengan pemantapan makna itu. Artinya, sekalipun disadari ada unsur judi yang melekat pada pelaksanaan tabuh rah, tetapi unsur-unsur judi senantiasa dicoba diminimalkan dengan proses ritual dan simbolis. Sebaliknya, saat ini tajen cenderung dilaksanakan sepanjang waktu lepas dari konteks upacara. Jikapun dilaksanakan dalam konteks upacara, acapkali hal itu dilaksanakan sebagai kamuflase dari sebuah upacara tertentu, yang boleh jadi tidak apa-apa jika tidak diisi dengan tajen.

Tajen pada masa yang lalu umumnya dilaksanakan oleh desa dan atau banjar adat dengan berbagai prosedur, ketaatan warga untuk mentaati perarem yang telah mereka rumuskan, percayai, dan dijadikan pedoman bertingkah laku. Jikapun karena kemampuannya seorang warga diminta mengkoordinasikan pelaksanaan tajen maka orang itu tetap tunduk pada desa dan banjar adat yang menjadi penanggung jawab pelaksanaan tejen. Jadi, segala hak dan kewajiban yang melekat pada kedudukan sebagai koordinator pelaksanaan tajen, bukan merupakan hak dan kewajiban individu. Belakangan ini malahan saya melihat bahwa tajen acapkali diselenggarakan oleh individu dan atau kelompok orang dengan hak-hak dan kewajiban yang diklaim sebagai hak individu atau kelompok, lepas dari tanggung jawab desa atau banjar adat. Tentu yang lebih memprihatinkan lagi jika betul adanya sinyalemen keterlibatan oknum aparat dalam penyelenggaraan tajen misalnya, dengan meminta hasil satu kali putaran dari siklus yang disepakati.

Pola ini membawa konskuensi yang amat luas secara sosiologis. Jika pada masa lalu, tajen tidak dapat dihindarkan pelaksanaan maupun unsur judinya, tetapi tajen tetap dapat dikendalikan dan diisolir secara relatif. Sirkulasi ‘kekayaan’ warga, juga bergerak di sekitar itu dengan nilai yang relatif terjangkau. Sebaliknya, dengan network individu atau kelompok penyelenggara semakin luas, semakin terbuka pula adanya kapital ‘asing’ masuk ke dalam tataran ekonomi lokal sehingga keseimbangan sirkulasi ekonomi kerakyatan tidak dapat dipertahankan lagi. Fungsi rekreasi, releksasi, dan pelepasan dari berbagai kesuntukan sebagaimana dinyatakan Geertz tidak lagi dapat dipenuhi, malahan ketegangan-ketegangan baru mulai tercipta.

Ketegangan-ketegangan itu merupakan wujud awal dari sebuah pertikaian. Dalam upacara keagamaan, justru pertikaian itulah yang membuat pasangan oposisi. Dalam pertikaian, dalam perang, dan dalam kematian yang diakibatkannya, hadir suatu yang transenden. Daya-daya hidup ini justru hadir dalam bentuk kematian. Kematian adalah kehidupan. Perang adalah syarat perdamaian, kemakmuran, dan kesuburan. Bagi si pemenang dan yang dikalahkan kematian diperlukan agar hidup dapat dilanjutkan. Ini bukan berarti masyarakat tidak menjalanan hidup dalam kelompok-kelompok sosial. Hidup bersama dalam satu kelompok itu kodrati karena manusia memang makhluk sosial. Manusia tidak mungkin hidup sendirian. Akan tetapi kesosialan ini juga tetap berpegang teguh pada prinsip pemisahan. Setiap banjar atau desa pakraman mempunyai pasangan banjar atau desa pakraman masing-masing. Pasangan-pasangan itu, bahkan membentuk federasi banjar atau desa pakraman. Namun pasangan-pasangan banjar atau desa pakraman tadi bukan dalam arti perkawinan, melainkan pasangan perang. Pasangan persaingan. Pasangan tetap dalam perseteruan. Ini memungkikan kehidupan tetap belangsung.

Dalam pasangan oposisi laki-laki versus perempuan dalam budaya perang, tentu saja laki-laki yang mengalahkan perempuan. Suami-istri juga harus dipisahkan. Ada rumah perempuan dan ada rumah lelaki. Ada ruang perempuan dan ada ruang lelaki dalam satu rumah. Garis pemisahnya harus jelas. Pemisahan dan jarak itulah yang baik. Lelaki lebih berkuasa daripada perempuan. Lelaki adalah hidup itu sendiri. Pemujaan lelaki, pemujaan phalus, pemujaan kelamin lelaki menguasai kehidupan. Anak laki-laki lebih diharapkan karena memungkinkan hidup kolektif terus berlangsung. Perempuan bukan tidak diperlukan, tetapi dikalahkan. Perempuan kelas dua. Pemujaan lelaki, pemujaan pahlawan yang gugur dalam perang mendapat tempat terhormat dalam etika sosial. Mereka adalah manusia-manusia berjasa bagi kelompok.

Apabila benar ini pola pikir yang mendasari kelahiran tajen di Bali maka fenomena tajen itu pada prinsipnya sejalan dengan gagasan Jakob Sumardjo tentang masyarakat yang membangun budayanya berdasarkan berpikir pola dua, yakni bahwa hidup itu pemisahan. Hidup itu persaingan; hidup itu konflik; dan konflik itu adalah perang. Adanya pasangan oposisi semua hal harus dipecahkan dengan mengalahkan salah satu. Jikalau pasangannya kalah, lenyap, dan mati maka hidup dimungkinkan. Kematian satu pihak memungkinkan pihak lain itu hidup. Kondisi hidup ini mau tak mau harus diterima seperti itu. Hidup itu pemisahan karena penyatuan tidak menyenangkan. Dalam masyarakat berpola dua jumlah kelompok sosial bukan semakin menyatu, tetapi semakin terpisah-pisah. Semakin lama jumlah suku semakin banyak. Bahasa semakin bervarian dan sengaja membedakan diri dengan kelompok lain yang jelas dipandang sebagai pesaingnya. Ini sebabnya pro-kontra dan pertikaian menjadi warna kehidupan budaya masyarakat.

3. Pro-Kontra terhadap TajenDari fenomena terurai di atas dalam berbagai diskursus maupun pembicaraan di lingkungan masyarakat kebanyakan telah berkembang dua pemikiran utama dalam menyikapi masalah tajen, yaitu sebagai berikut.
Pertama, perspektif ini lebih bertitik tolak dari pemikiran idealisme-normatif. Termasuk dalam kelompok ini juga mereka yang menganut paham teologis. Argumentasi mereka adalah tajen berbeda dengan tabuh rah. Tajen merupakan bias dari konsep tabuh rah yang notabenanya sarat dengan nuansa ritual-religius. Tabuh rah adalah sebuah proses awal dari rangkaian ritual berikutnya. Tabuh rah berhubungan dengan upaya manusia untuk memelihara hubungan baik dengan dunia bawah, dunia yang memerlukan kurban, binatang, dan darah yang langsung mengalir dari tubuh koban. Jadi, tabuh rah berfungsi menetralkan hubungan manusia dengan dunia bawah, sebelum menapak dunia tengah dan atas. Oleh karena tajen merupakan bias dari konsepsi tabuh rah, dan cendrung telah menjadi sebuah game yang mengandung unsur spekulasi dan taruhan dengan harapan memperoleh keuntungan maka tajen bukanlah sesuatu yang patut dilestarikan, melainkan sebaiknya diminimalkan keberadaannya. Penganut pemikiran ini beranggapan bahwa tajen sebagai fenomena judi merupakan ‘candu’ bagi masyarakat. Ia hanya menjajikan kebahagiaan, membawa orang ke alam hampa udara dan tidak pernah dapat berdiri dengan tegak. Malahan pandangan yang agak sinis dilontarkan untuk itu dengan menyatakan bahwa tidak ada orang yang kaya karena judi, tetapi sebaliknya banyak dijumpai orang menjadi miskin dan menderita karena judi. Sebab itu, judi dalam segala bentuknya harus dihindarkan.

Pandangan ini cendrung berpretensi puritanisme yang dibawa oleh nasionalisme radikal. Penganut paham ini cenderung khawatir akan petani miskin, orang yang tidak terdidik mempertaruhkan seluruh harta mereka dalam game itu. Mereka juga khawatir terhadap adanya perilaku menyia-nyiaan waktu, padahal sebagai bangsa yang sedang membangun memanfaatkan waktu secara baik merupakan awal dari kesuksesan. Dalam pernyataan yang agak sinis, para penganut paham ini kembali melontarkan pernyataan: bagaimana mungkin kita akan masuk ke dalam setting global, jika sebagian besar waktu yang ada dimanfaatkan hanya untuk memelihara jago dan mengadunya?

Kedua, kelompok ini disebut dengan emperisme-pragmatis karena argumentasi yang dilontarkannya senantiasa berdimensi empiris dan pragmatis. Bagi mereka tajen adalah sebuah wadah bagi orang Bali dalam mengekspresikan berbagai emosi dan sebagai perwujudan karakter mereka. Tajen sebagai sesuatu fakta, ia ada dan tidak mungkin dinisbikan hanya oleh kekuasaan birokrasi, terlebih hal itu merupakan keinginan masyarakat. Dalam proses historis, sekalipun pada masa pemerintahan Belanda dan Republik, tajen dilarang toh dalam kenyataannya tajen tetap ada dan semakin semarak saja.

Tajen tidak saja telah memungkinkan tumbuh dan berkembangnya sektor informal dalam arena pertandingan jago, seperti saya, tukang taji, pekembar, dan sebagainya; tetapi ia telah mampu memberi kehidupan bagi lingkungan yang lebih luas di luar arena. Dalam aspek emperis, terbukti terdapat banyak infrastruktur desa yang dibangun dari hasil tajen, tidak terbatas hanya pada bangunan sekuler, tetapi juga bangunan yang disucikan. Oleh karena itu, menisbikan tajen sama artinya dengan tidak mau tahu dengan kenyataan yang ada. Malahan para penganut paham ini menyatakan: mengapa kita harus takut dengan judi, bukankah hidup kita ini sesungguhnya sebuah permainan atau gambling?

4. Tajen dan Pembangunan BerbudayaKomitmen pembangunan Bali berdasarkan kebudayaan yang bersumber dari agama Hindu memiliki implikasi luas, termasuk dalam upaya memahami dan menempatkan persoalan tajen dalam proses pembangunan lainnya. Jika kita konsisten terhadap makna teologis pembangunan berbudaya maka seharusnya menjadi komitmen bersama untuk meminimalkan segala bentuk judi. Artinya, jikapun tajen belakangan ini kelihatan semakin marak di Bali, bukan merupakan sebuah pembenar untuk melegalkan hal itu. Sebab, pengalaman teologis sebagaimana digambarkan dalam kisah Mahabharata telah memberikan cukup bekal kepada kita bahwa (1) judi telah membuat orang menderita dalam kurun waktu yang cukup lama dengan berbagai cobaannya; (2) judi telah menimbulkan adanya berbagai konflik kepentingan di dalam lingkungan keluarga; (3) judi telah menyebabkan runtuhnya etika dan sopan santun.
Jika karena semakin maraknya tajen kemudian dilegalkan maka logika yang sama tidak dapat dihindarkan ketika kita mencoba memahami dan mengkaji patologis sosial lainnya, seperti pelacuran. Bukankah pelacuran telah ada bersamaan dengan adanya manusia, dan bukankah pula realitas menunjukkan bahwa belakangan ini hal seperti itu juga semakin marak? Konskuensinya kita juga tidak dapat menutup mata terhadap kenyataan ini, dan bagaimana dengan judi lainnya, seperti bola adil, blok kiu, spirit, dan sejenisnya.

Semakin maraknya tajen, metuakan, dan patologis sosial lainnya seperti prostitusi juga tidak mengharuskan untuk melegalkannya. Krisis ekonomi berkepanjangan yang mengakibatkan terjadinya pemutusan hubungan kerja, masih terbatasnya lapangan kerja produktif, dan karena itu mengakibatkan waktu senggang menjadi sedemikian banyaknya, merupakan sebab yang harus dicari jalan keluarnya. Jadi, maraknya persoalan tajen, metuakan, dan prostitusi tidak mengharuskan kita mengambil kebijakan yang bertentangan dengan pertimbangan teologis dan kultural.

Pendapat saya (boleh setuju maupun tidak), semakin maraknya judi dalam segala bentuknya terkait dengan banyaknya waktu luang yang belum dimanfaatkan secara efektif. Jika saja setiap orang telah memiliki tanggung jawab terhadap pekerjaan dan kewajiban sosial lainnya maka tindakan ke arah itu (judi) tentu akan dapat diminimalkan. Oleh karena itu, perlu dilakukan langkah-langkah ke arah optimalisasi peran, seperti memanfaatkan potensi pemuda untuk mengaktifkan kembali pekan olahraga dan seni desa, melaksanakan lomba sekaa teruna, dan melaksanakan berbagai bentuk pendalaman sradha pada seluruh lapisan masyarakat. Dengan kata lain, untuk melepaskan diri kita dari tarikan semacam itu maka kita harus kembali ke jalan dharma. Bukankah kita telah diajarkan oleh para leluhur untuk menikmati kesenangan (khama) berdasarkan dharma, demikian pula dalam rangka menghasilkan artha harus dilandasi oleh dharma. Jika ini tetap menjadi pegangan pembangunan berwawasan budaya bernafaskan agama Hindu maka tampaknya kita harus bersama-sama berusaha ke arah itu.

Proses ke arah itu bukanlah sesuatu yang mudah untuk dilakukan. Ia memerlukan kesungguhan hati, niat yang luar biasa, ketabahan, dan latihan terus-menerus. Dalam menapaki proses ke arah itu, kita akan dihadapkan pada berbagai tantangan dan godaan, malahan pengucilan-pengucilan tertentu karena dianggap tidak sesuai dengan opini yang berlaku saat itu. Sekalipun demikian, kami akan berusaha tetap melaksanakan amanat pembangunan berbudaya bernafaskan agama Hindu dengan tidak menutup mata pada kenyataan bahwa masih ada banyak persoalan kemanusiaan, adat, agama, dan lingkungan yang memerlukan perhatian lebih serius.

Tajen "Sabung Ayam" bagian dari sebuah Tradisi masyarakat Bali

5. Simpulan Berdasarkan uraian itu dapat kami simpulan, bahwa tajen merupakan bias dari konsep tabuh rah. Sebagai suatu game yang mengandung spikulasi dan harapan untung rugi, tajen hendaknya dikembalikan kepada konsepsi dasar, yaitu tabuh rah – sebuah sarana persembahan kepada Tuhan dalam rangka memelihara hubungan harmonis dengan tuhan, alam, dan manusia. Artinya, saat ini telah terjadi pergeseran makna sabungan ayam pada masyarakat Bali, dari memenuhi fungsi ritual, sosial, emosional ke arah fungsi spekualisi dan judi.

Maraknya tajen tidak harus diikuti dengan usaha melegalkan permainan itu, melainkan memberi pembobotan yang padat dan berisi kepada setiap orang Bali (umat) yang memiliki banyak waktu luang. Pembobotan kepada setiap umat, diharapkan tidak akan mengalihkan perhatian terhadap hal semacam itu, tetapi juga akan memberikan proses pencerahan, untuk selanjutnya digunakan bekal masuk dalam setting global yang sebentar lagi menghadang di hadapan kita. Upaya perlawanan dengan hukum positif rupanya juga bukan jalan keluar yang memuaskan karena basis budaya berdasarkan berpikir pola dua mengendapkan persaingan, pertikaian, dan konflik adalah kodrati. Di dalamnya diperlukan upaya bersama semua pihak dan terus-menerus karena upaya menekan tajen pada tataran pelarangan akhirnya, mendapat reaksi yang sepadan. Dengan kenyataan ini patut dipertimbangkan sebuah penelusuran terhadap akar budaya masyarakat sebagaimana tampak dalam ritual-ritual keagamaan. Dengan demikian orang Bali yang berbudaya dan berciri Hindu tetap survive dalam pertarungan global.

Sumber : http://www.cakrawayu.org/artikel/8-i-wayan-sukarma/62-tajen-dalam-masyarakat-bali.html

Sunday, January 25, 2015

Sejarah "Wisata Melukat" Pura Tirta Empul Tampak Siring Gianyar - Bali

Melukat Di Tirta Empul gianyar
nyamenusanet.blogspot.com - Tirta Empul adalah sebuah pura yang terletak di Desa Manukaya, Kecamatan Tampak Siring, Kabupaten Gianyar, Bali. Lokasinya tepat di sebelah Istana Presiden di Tampak Siring yang dulu dibangun oleh presiden Soekarno. Pura Tirta Empul terkenal karena terdapat sumber air yang hingga kini dijadikan air suci untuk melukat oleh masyarakat dari seluruh pelosok Bali, tak jarang wisatawan yang berkunjung pun tertarik untuk ikut melukat.
Pura Tirta Empul ini juga merupakan salah satu situs peninggalan sejarah di Bali khususnya Gianyar. Oleh karena itu pula, presiden pertama Republik Indonesia, Soekarno mendirikan sebuah Istana Presiden tepat di sebelah barat Pura Tirta Empul, Tampak Siring. Para presiden Indonesia yang datang ke Bali biasanya menyempatkan diri singgah ke Istana Presiden Tampak Siring tersebut. Saat ini pura Tirta Empul dan lokasi tempat melukat tersebut merupakan salah satu lokasi wisata unggulan di kabupaten Gianyar.
Konon terdapat sebuah cerita tentang seorang raja yang bernama Mayadenawa, Mayadenawa sangat sakti tetapi jahat. Bhatara Indra pun diutus dari langit untuk membunuh Mayadenawa. Mayadenawa kewalahan lalu melarikan diri dengan berjalan sambil memiringkan telapak kakinya agar tidak terdengar oleh Bhatara Indra. Dari sanalah kemudian muncul nama sebuah desa Tampak Siring. Mayadenawa kemudian meracuni pasukan Bhatara Indra dengan air yang sudah diracuni, Bhatara Indra lalu menancapkan sebuah bendera ke tanah dan tersembur air yang dijadikan penangkal racun Mayadenawa. Konon sumber air itulah yang kini disebut Tirta Empul.
Anda yang tinggal di Bali khususnya umat Hindu tentu tak asing dengan tempat melukat di Pura Tirta Empul ini. Bagi anda yang dari luar Bali dan berlibur ke Bali, rasanya mungkin belum lengkap jika belum jalan-jalan ke Gianyar yang terkenal sebagai pusat seni di Bali, dan juga jangan lupa mampir ke Pura Tirta Empul dan merasakan suasana sejuk dan tenang. Jika berkenan, silahkan mencoba untuk melukat dan merasakan dinginnya air dari pancoran di Tirta Empul.
Untuk menikmati perjalanan yang efektif dan dan efisien tidak membuang banyak waktu dengan jadwal jalan2 yang singkat tapi ingin menikmati banyak obyek wisata di Bali gunakan jasa kami Nyamenusanet.blogspot.com yang menyewakan sepeda motor termurah di Bali, ramah dan memuaskan dengan pasilitas yang standar dan lengkap. Jangan sungkan-sungkan untuk menghubungi kami.

Sumber : http://imadewira.com/pura-tirta-empul-tampak-siring/

Wednesday, January 21, 2015

Makna Perayaan Hari Raya Siwalatri (Malam Renungan Suci Dewa Siwa)

Simbolis Dewa Siwa
nyamenusanet.blogspot.com - Perayaan Siwa Ratri adalah salah satu bentuk ritual Hindu yang mengajarkan kita untuk selalu memelihara kesadaran diri agar terhindar dari perbuatan dosa dan papa. Diakui atau tidak, manusia sering lupa, karena memiliki keterbatasan. Kerena sering mengalami lupa itu, maka setiap tahun pada sasih kepitu (bulan ketujuh menurut penanggalan Bali), dilangsungkan upacara Siwa Ratri dengan inti perayaan malam pejagraan. Pejagraan yang asal katanya jagra itu artinya sadar, eling atau melek. Orang yang selalu jagralah yang dapat menghindar dari perbuatan dosa.

Dalam Bhagavadgita III, 42, dinyatakan, orang akan memiliki alam pikiran jernih, apabila atman atau jiwa yang suci itu selalu menyinari budhi atau alam kesadaran. Budhi (kesadaran) itu menguasai manah (pikiran). Manah menguasai indria. Kondisi alam pikiran yang struktural dan ideal seperti itu amat sulit didapat. Ia harus selalu diupayakan dengan membangkitkan kepercayaan pada Tuhan sebagai pembasmi kegelapan jiwa. Siwa Ratri (Ratri juga sering ditulis Latri) adalah malam untuk memusatkan pikiran pada Sanghyang Siwa guna mendapatkan kesadaran agar terhindar dari pikiran yang gelap. Karena itu, Siwa Ratri lebih tepat jika disebut ”malam kesadaran” atau ”malam pejagraan”, bukan ”malam penebusan dosa” sebagaimana sering diartikan oleh orang yang masih belum mendalami agama.

Memang, orang yang selalu sadar akan hakikat kehidupan ini, selalu terhindar dari perbuatan dosa. Orang bisa memiliki kesadaran, karena kekuatan budhinya (yang menjadi salah satu unsur alam pikiran) yang disebut citta. Melakukan brata Siwa Ratri pada hakikatnya menguatkan unsur budhi. Dengan memusatkan budhi tersebut pada kekuatan dan kesucian Siwa sebagai salah satu aspek atau manifestasi Sang Hyang Widhi Wasa, kita melebur kegelapan yang menghalangi budhi dan menerima sinar suci Tuhan. Jika budhi selalu mendapat sinar suci Tuhan, maka budhi akan menguatkan pikiran atau manah sehingga dapat mengendalikan indria atau Tri Guna.

Siwa Ratri pada hakikatnya kegiatan Namasmaranâm pada Siwa. Namasmaranâm artinya selalu mengingat dan memuja nama Tuhan yang jika dihubungankan dengan Siwa Ratri adalah nama Siwa. Nama Siwa memiliki kekuatan untuk melenyapkan segala kegelapan batin. Jika kegelapan itu mendapat sinar dari Hyang Siwa, maka lahirlah kesadaran budhi yang sangat dibutuhkan setiap saat dalam hidup ini. Dengan demikian, upacara Siwa Ratri sesungguhnya tidak harus dilakukan setiap tahun, melainkan bisa dilaksanakan setiap bulan sekali, yaitu tiap menjelang tilem atau bulan mati. Sedangkan menjelang tilem kepitu (tilem yang paling gelap) dilangsungkan upacara yang disebut Maha Siwa Ratri.

Untuk dapat mencapai kesadaran, kita bisa menyucikan diri dengan melakukan sanca. Dalam Lontar Wraspati Tattwa disebutkan, Sanca ngaranya netya majapa maradina sarira. Sanca itu artinya melakukan japa dan membersihkan tubuh. Sedang kitab Sarasamuscaya menyebutkan, Dhyana ngaranya ikang Siwasmarana, artinya, dhyana namanya (bila) selalu mengingat Hyang Siwa.

Di India, setiap menjelang bulan mati (setiap bulan) umat Hindu menyelenggarakan Siwa Ratri dan tiap tahun merayakan Maha Siwa Ratri. Keutamaan brata Siwa Ratri banyak diuraikan dalam pustaka berbahasa Sanskerta, Jawa Kuno dan Bali. Ini suatu pertanda, bah-wa Siwa Ratri dari sejak dahulu sudah dirayakan baik oleh umat Hindu di India, maupun di Jawa dan Bali. Dalam kepustakaan Sanskerta, keutamaan brata Siwa Ratri diuraikan dalam kitabkitab Purana, misalnya Siwa Purana, Skanda Purana, Garuda Purana dan Padma Purana. Siwa Purana, pada bagian Jñana Samhita memaparkan keutamaan brata Siwa Ratri dan tata-cara merayakan malam suci terbut. Di situ ada dimuat tentang dialog antara seseorang bernama Suta dan para rsi. Dalam percakapan tersebut, dikisahkanl seseorang yang kejam bernama Rurudruha. Ia menjadi sadar akan dosa-dosa yang telah diperbuat setelah melakukan brata Siwa Ratri. Berkat bangkitnya kesadarannya, ia tinggalkan semua perbuatan dosa, lalu dengan mantap berjalan di jalan dharma.

Di antara berbagai brata, mengunjungi tempat suci, memberi dana punya yang mahal seperti batu mulia (emas dan permata), melakukan berbagai jenis upacara Yajña, berbagai jenis tapa dan melakukan berbagai kegiatan Japa atau mantra untuk memuja keagungan-Nya,semuanya itu tidak ada yang melebih keutamaan brata Sivaratri.

Sejalan dengan pernyataan di atas, kakawin Sivaratri Kalpa menyatakan keutamaan Brata Sivaratri seperti diwedarkan oleh Sang Hyang Siva sebagai berikut:

”Setelah seseorang mampu melaksanakan Brata sebagai yang telah Aku ajarkan, kalahlah pahala dari semua upacara Yajña, melakukan tapa dan dana punya demikian pula menyucikan diri ke tempat-tempat suci, pada awal penjelmaan, walaupun seribu bahkan sejuta kali menikmati Pataka (pahala dosa dan papa), tetapi dengan pahala Brata Sivaratri ini, semua Pataka itu lenyap”.

”Walaupun benar-benar sangat jahat, melakukan perbuatan kotor, menyakiti kebaikan hati orang lain, membunuh pandita (orang suci) juga membunuh orang yang tidak bersalah, congkak dan tidak hormat kepada guru, membunuh bayi dalam kandungan, seluruh kepapaan itu akan lenyap dengan melakukan Brata Sivaratri yang utama, demikianlah keutamaan dan ketinggian Brata (Sivaratri) yang Aku sabdakan ini” (Sivaratri kalpa, 37, 7-8)*

Sumber Sastra itihasa Dalam Itihasa, Sivaratri terdapat dalam Mahabharata, yaitu pada Santi Parva, dalam episode ketika Bhisma sedang berbaring di atas anak-anak panahnya Arjuna, menunggu kematian, sambil membahas dharma, mengacu kepada perayaan Maha Sivaratri oleh raja Citrabhanu, raja Jambudvipa dari dinasti Iksvaku. Raja Citrabhanu bersama istrinya melakukan upavasa pada hari Maha Sivaratri. Rsi Astavakra bertanya:

“Wahai sang raja, mengapa kalian berdua melakukan upavasa pada hari ini? Sang raja dianugerahi ingatan akan punarbhawa sebelumnya, lalu ia menjelaskan kepada sang rsi.

“Dalam kehidupanku terdahulu aku adalah seorang pemburu di Varanasi yang bernama Susvara. Kebiasaanku adalah membunuh dan menjual burung-burung dan binatang lainnya. Suatu hari aku berburu ke hutan, aku menangkap seekor kijang, namun hari keburu gelap. Aku tidak bisa pulang, kijang itu kuikat di sebatang pohon. Lalu aku naik sebatang pohon bilva. Karena aku lapar dan haus, aku tidak dapat tidur. Aku teringat anak istriku yang malang di rumah, menungguku pulang dengan rasa lapar dan gelisah. Untuk melewatkan malam aku memetik daun bilva dan menjatuhkannya ke tanah.” Kisah selanjutnya mirip dengan kisah Lubdaka di Indonesia.

Purana
Sivaratri juga dimuat dalam purana-purana, yang umumnya berisi kisah-kisah pemburu yang sadar, seperti berikut:

Pertama, Siva Purana (bagian Jnanasamhita). Pada bagian ini memuat percakapan antara Suta dengan para rsi, menguraikan pentingnya upacara Sivaratri. Seseorang bernama Rurudruha seperti telah disinggung di atas.

Kedua, Skanda Purana (bagian Kedarakanda). Pada bagian Kedarakanda antara lain memuat percakapan antara Lomasa dengan para rsi. Lomasa menceritakan kepada para rsi tentang si Canda yang jahat, pembunuh segala mahluk, sampai membunuh brahmana, akhirnya dapat mengerti dan menghayati apa yang disebut ”kebenaran” Dalam Skanda Purana juga diceritakan kisah seorang pemburu yang identik dengan kisah pemburu dalam Santi Parva.

Ketiga, Garuda Purana (bagian Acarakanda). Bagian ini memuat uraian singkat tentang Sivaratri diceritakan bahwa Parvati bertanya tentang brata yang terpenting. Siva menguraikan tentang pelaksanaan vrata Sivaratri. Seorang raja bernama Sudarasenaka pergi berburu ke hutan bersama seekor anjing. Rangkaian kisah inipun tidak berbeda dengan kisah pemburu di atas.

Keempat, Padma Purana (bagian Uttarakanda). Bagian ini memuat percakapan raja Dilipa denganWasista. Wasista menceritakan bahwa Sivaratri adalah vrata yang sangat utama, antara bulan Magha dan Palghuna. Dalam Padma Purana, pemburu itu bernama Nisadha. Berkat vrata Sivaratri yang dilakukannya berhasil membawanya ke Siva loka.

Penulis adalah ketua PHDI
Provinsi Sumatra Barat.

NB :
* Jika dibaca secara literal paragraph di atas ini memberi kesan betapa mudahnya menebus dosa, termasuk dosa berat, seperti membunuh. Teks seperti ini harus ditafsirkan agar sesuai dengan filosofi hukum karma. Tanpa itu, upaya untuk membangun manusia bermoral dan bertanggung jawab atas tindakannya akan gagal. Seperti yang kita lihat sekarang di negara kita: ritual agama begitu semarak, gairah beragama begitu tinggi, sering diwarnai konflik fisik, tetapi moral bangsa kita tertinggal jauh dari moral bangsa-bangsa yang kita anggap sekuler.

Sumber : http://www.mediahindu.net/berita-dan-artikel/artikel-umum/72-makna-perayaan-hari-raya-siwaratri.html
Penulis :  I Ketut Budaraga

Saturday, January 10, 2015

6 Pasar Seni "Pusat beli Oleh-Oleh Khas Bali" di Pulau Dewata Bali

nyamenusanet.blogspot.com - Suara menawarkan dagangan terdengar bersahutan. Kadang dalam Bahasa Indonesia dengan dialek Bali yang kental. Sering pula dalam Bahasa Inggris seadanya. Tergantung siapa calon pembeli yang sedang melewati kios.

Ya, pasar seni di Bali memang memiliki ciri khas tersendiri. Setiap daerah di Indonesia mempunyai pasar tradisional dengan keunikan dagangan masing-masing. Sementara di Bali, selain pasar tradisional yang menjual kebutuhan sehari-hari, dikenal pula istilah pasar seni.

Pasar seni menjadi semacam tempat belanja oleh-oleh bagi para wisatawan, baik asing maupun nusantara. Ciri khas yang paling kentara dari pasar seni adalah saat memasuki pasar adalah warna-warni mencolok dari berbagai produk yang dijual.

Ada banyak pasar seni di Bali. Rata-rata menjual barang yang mirip. Harga pun tak jauh berbeda. Pengunjung dapat membeli aneka produk garmen seperti baju bambu, celana pantai, kain pantai, sampai kaus dengan corak khas Bali.

Atau, aneka kudapan khas Bali seperti kacang asin Bali ataupun brem Bali, bisa Anda temukan di pasar seni. Pilihan lain adalah aneka lukisan dan patung. Bisa juga membeli prroduk perawatan tubuh seperti lulur Bali atau aromaterapi.

Sayangnya, sejak toko oleh-oleh semakin menjamur, pasar-pasar seni ini seakan mulai kehilangan pamor. Kehadirannya mulai meredup. Kalah bersaing dengan toko oleh-oleh dengan ruangan ber-AC dan harga tetap, tanpa perlu repot menawar.

“Di Gianyar selatan, ada Pasar Sukawati yang menjadi pusat perdagangan seni. Memang saat ini bersaing ketat dengan toko oleh-oleh yang gencar dibangun di Badung. Tak hanya Pasar Sukawati yang merasakan ini, tapi juga pasar seni lainnya seperti Pasar Kuta dan Kumbasari,” ungkap Bupati Gianyar Bupati Gianyar Tjokorda Oka Artha Ardhana Sukawati beberapa waktu yang lalu.

Seperti di Pasar Sukawati, ungkap Tjokarda, selain persaingan dengan toko oleh-oleh, pasar tersebut juga menghadapi kendala keterbatasan parkir. Pihaknya sendiri berencana untu merelokasi Pasar Seni Sukowati.

Ia pun berharap agar wisatawan, terutama turis lokal, untuk mempertimbangkan berbelanja di pasar seni, agar eksistensi pasar seni tetap lestari. Sementara itu, beberapa turis menuturkan bahwa terkadang penjual di pasar seni menawarkan dagangan secara memaksa.

“Harga yang ditawarkan juga sering tinggi sekali. Jadi kita mau nawar juga sudah malas. Padahal kita sudah sering ke Bali dan sudah tahulah harganya itu berapa,” kata Ade asal Jakarta.

Sejatinya, berbelanja di pasar seni dan di toko oleh-oleh memang tak bisa dibandingkan. Di pasar seni ada sensasi tersendiri saat harus berinteraksi dengan pedagang, termasuk saat menawar dan memilih barang. Suasana pasar memang menghadirkan aura yang berbeda.

Jika Anda ingin mendapatkan pengalaman yang lebih saat berbelanja oleh-oleh atau sekedar melihat aktivitas para pedagang, pasar seni memang tepat menjadi tujuan wisata Anda. Ada banyak pasar di Bali yang menjual oleh-oleh, namun berikut 6 pasar seni yang populer bagi turis mancanegara.

1. Pasar Seni Kuta. Turis-turis asing sering membeli kaus-kaus Bali dengan bahan rayon atau katun tipis di pasar ini. Bukan untuk dibawa pulang sebagai oleh-oleh, melainkan untuk dipakai selama pelesir di Bali. Produk paling dicari adalah kaus berlogo bir lokal yang digemari turis-turis Australia.

Lokasinya strategis dekat pusat keramaian pariwisata Bali, sehingga banyak turis asing yang tertarik membeli karena iseng lewat saja. Banyak kerajinan seni seperti patung ukiran dan lukisan yang dijual di pasar ini. Gambar dan motif pun beragam, tak selalu mencirikan budaya Bali.

Pasar ini buka dari sekitar jam 8 atau 9 pagi dan tutup agak malam sekitar jam 7. Letaknya dekat dengan Pantai Kuta dan Jalan Kartika Plaza.

2. Pasar Badung. Segala macam kebutuhan dan benda seni ada di pasar ini. Mulai dari aneka kebutuhan sehari-hari sampai perlengkapan upacara adat Bali. Pasar ini bisa menjadi pilihan destinasi untuk skedar mampir mengenal kuliner dan bahan-bahan khas masakan Bali

Mulai dari membeli kopi Bali ataupun bokor Bali, wadah untuk menaruh sajen yang terbuat dari aluminum. Anda bisa membelinya untuk ide-ide menghias rumah Anda. Selain itu, Anda bisa membeli kaus bambu, celana pantai, dan produk-produk garmen khas Bali lainnya.

Sebaiknya beli kaus dan celana dalam jumlah banyak, seperti 1 lusin atau 1 kodi, untuk mendapatkan harga grosir. Jika merasa terlalu banyak, 1 lusin kaus bisa untuk oleh-oleh teman dan kerabat Anda saat Anda pulang nanti.

Pasar yang satu ini memang berada di lokasi sibuk perdagangan. Letaknya di Jalan Gajah Made, Denpasar. Di dekat Pasar Badung, terdapat Jalan Sulawesi yang terkenal sebagai tempat membeli kain kebaya dan pakaian tradisional Bali.

Pasar Badung mungkin tempat yang paling dikenang ketika sudah meninggalkan Bali. Pasar itu sungguh mengasyikkan karena menjual semua kebutuhan sehari-hari mulai dari ikan teri sampai perlengkapan upacara adat Bali yang "berat-berat", yaitu tedung dan songket yang harganya di atas Rp 500.000.

3. Pasar Kumbasari. Pasar yang satu ini letaknya dekat dengan Pasar Badung. Pasar Kumbasari terkenal sebagai pasar grosiran. Barang-barang kerajinan yang biasa dijual sebagai suvenir di kios-kios di Kuta dan sekitarnya, banyak yang mengambil barangnya di Pasar Kumbasari

Anda bisa membeli pakaian dan aksesoris mote khas Bali. Tak hanya barang-barang kecil, namun ada pula patung dan ukiran. Lalu, ada pula berbagai mebel dan pernak-pernik untuk mengisi rumah. Aneka anyaman bambu seperti besek sampai ingke bisa Anda dapatkan di pasar ini.

Jika Anda berminat membeli dalam jumlah banyak, di sinilah lokasi yang tepat. Namun, membeli dalam jumlah kecil pun tak masalah. Pasar Kumbasari berada di Jalan Sulawesi, Denpasar, dan masih dalam satu kawasan dengan Pasar Badung.

4. Pasar Sukawati. Pasar yang satu ini memang sangat terkenal bagi kalangan wisatawan domestik. Anda bisa berbelanja kain pantai, celana dan pakaian dengan motif-motif Bali, tas anyaman khas Bali, sampai sandal-sandal mote yang cantik.

Lukisan-lukisan Bali termasuk yang diburu di pasar ini. Karena pasar ini dekat dengan desa-desa pusat pembuatan kerajinan Bali, maka Anda akan menemukan banyak model patung dan ukiran Bali. Pasar Sukawati terletak di perbatasan antara Denpasar dan Gianyar. Seakan menjadi “pintu” pertama untuk masuk ke Gianyar.

Sebaiknya datang di pagi hari, saat belum banyak orang yang datang untuk berbelanja. Proses menawar pun lebih mudah dilakukan di pagi hari, saat pedagang baru memulai aktivitas. Sebab, “pamali” jika menolak pembeli di awal berdagang.

5. Pasar Guwang. Pasar ini kalah populer dengan Pasar Sukawati. Padahal secara jarak, kedua pasar ini sangat berdekatan. Pasar Guwang terletak di Desa Guwang, Gianyar. Dari Pasar Sukawati jaraknya hanya sekitar 500 meter.

Pasar ini terkesan lebih rapi daripada Pasar Sukawati. Namun, salah satu hal yang mencolok adalah tempat parkirnya yang luas. Pasar Guwang tergolong baru dan memang dibangun untuk mendukung Pasar Sukawati.

Bus-bus wisata mudah masuk ke pasar ini karena lahan parkir yang tersedia memang memungkinkan untuk bis. Barang yang dijual pun sama dengan Pasar Sukawati. Anda tetap harus menawar sebelum membeli.

6. Pasar Ubud. Masih menjual produk-produk yang serupa dengan pasar-pasar seni lainnya. Anda dapat membeli tas anyaman, baju-baju bertuliskan Bali, pakaian tradisional Bali, sampai patung dan lukisan.

Coba juga aneka jajanan pasar yang dijual di pasar ini. Sebaiknya datang di pagi hari. Sebab, siang hari biasanya dipadati oleh rombongan turis. Ingatlah untuk menawar harga sebelum Anda membeli. Serta, jelajahi terlebih dahulu pasar sebelum Anda membeli.

Pasar ini tergolong luas, sehingga Anda perlu masuk ke dalam untuk mendapatkan harga dan barang terbaik. Juga cobalah naik ke lantai-lantai atas. Kebanyakan turis hanya melihat-lihat dan membeli barang di bagian depan pasar. Pasar ini juga pernah menjadi lokasi shooting film Hollywood “Eat, Pray, Love” yang dibintangi Julia Roberts.
Lokasi pasar ini sangat strategis, persis di depan Puri Agung Saren Ubud. Tepatnya di persimpangan Jalan Monkey Forest. Pasar ini berada di pusat Ubud. Oleh karena itu, turis-turis yang menginap dan berjalan-jalan di sekitar pasar pun menyempatkan diri mampir di pasar ini.

Bagi shabat yang jalan-jalan dan ingin berbelanja oleh-oleh khas bali jangan sampai ketinggalan mengunjungi pasar oleh-oleh ini, selain pilihannya banyak harga jiga sangat murah jauh murah dibandingkan dengan pusat oleh-oleh seperti Krisna atau Erlangga. untuk lebih efisien waktu perjalanan anda jangan lupa gunakan jasa kami Penyewaan Sepeda Motor murah di Bali. kami siap antar jemput ke tempat penginapan, bandara, Terminal atau tempat Rekreasi selama masih berada di sekitar Denpasar.

Sumber : htt://travel.kompas.com/read/2012/04/01/13503436/6.pasar.seni.yang.populer.di.bali

Pura Paluang "Pura Mobil" di Desa Karang Dawa Nusa Penida Bali


nyamenusanet.blogspot.com - Berbagai keunikan di Bali kayaknya tidak habis-habisnya untuk dilacak terbukti hampir sepuluh tahun Tabloid Bali Aga berdiri hingga kini Pura-pura yang angker masih saja tetap banyak, tidak heran memang kalau Bali sering disebut sebagai Pulau Seribu Pura, Pulau Dewata dan berbagai sebutan lainnya yang menyebut Bali begitu magisnya. Di Nusa Penida banyak sekali ternyata pura-pura yang tersebar dari timur hingga barat bahkan ada yang tidak sama sekali diketahui keberadaanya karena begitu mistisnya. Seperti Pura yang ada di Nusa Ceningan beberapa waktu lalu sempat dimuat Tabloid Bali Aga. Untuk mendapatkan beritanya saja harus menginap selama tiga hari ditempat tersebut, mengingat banyak sumber yang harus dicari berkaitan dengan pura tersebut.

Pura Paluang merupakan Pura yang mana pelinggihnya ada mobil di dalamnya. Pura tersebut terletak di Desa Karang Dawa, Nusa Penida yang berada di kawasan paling barat Nusa Penida. Untuk mencari lokasi ini dari pelabuhan Nusa Penida bisa ditempuh dengan kendaraan bermotor selama kurang lebih 40 menit. Itu juga kalau diajak sama orang sana, karena jalanan aspal yang tidak begitu baik dengan dipenuhi pasir di jalanan sangat sulit untuk dilalui.

Lokasi pura yang berada tepat di atas laut lepas, dengan hutan yang cukup lebat Membuat Pesona pemandangan yang mantap. Awalnya kita disambut oleh ratusan ekor kera yang mendiami lokasi tersebut. Kera-kera tersebut bergelayutan di atas pohon juwet yang mulai berbuah. Terasa tidak terganggu dengan kedatangan beberapa kendaraan, kera-kera tersebut sibuk memunguti buah-buahan yang ada di sana.

Dari depan tampak bangunan pura yang sepertinya baru beberapa bulannya di rehab ulang oleh krama pangempon. Dengan batu paras putih, khas Nusa Penida, bangunan Pura Paluang ini cukup megah berdiri. Ketika masuk ke jaba sisi pura, aura magis sudah nampak jelas, yang mencirikan ketengetan pura ini. Betapa tidak, pura ini letaknya saja sudah di atas tebing terjal dan di pinggiran desa, yang lumayan jauh dari perumahan krama Karang Dawa.

Selanjutnya langkah kaki pun dilanjutkan ke jaba Tengah dengan persetujuan Jro Kelihan Desa. Baru melangkahkan kaki masuk ke jaba tengah, hal yang mengherankan muncul. Di mana bangunan pura yang sangat luar biasa, sangat berbeda dengan kahyangan lainnya di Nusa Penida, Bali Daratan dan bahkan di dunia sekali pun hanya ada satu pura dengan palinggih yang ada mobilnya.
Namun mobil yang ada bukanlah mobil beneran namun itu hanya bentuk bangunan palinggih dengan bentuk mobil yang lengkap dengan roda, kap yang terbuat dari batu padas. Untuk diketahui palinggih mobil yang di sebelah timur adalah berbentuk mobil Jimmy dengan ukuran dan desain modern zaman kekinian. Dan di tengah-tengah areal palinggih ada juga bangunan berbentuk mobil namun mobilnya ini berukuran kecil. Dengan reposisi mobil dibentuk seperti sedan VW. Selain bangunan itu ada palinggih yang biasa seperti taksu, padma, gedong dan palinggih lainnya.

Menurut Wayan Partai, Pura Paluang tidak memiliki prasasti hingga kini. Namun menurutnya dulu sempat ada prasasti, dan belum sempat dibaca sudah hilang dan belum diketemukan hingga kini. Namun dari cerita-cerita leluhur di desa tersebut, kata dia, bangunan berupa mobil ini sudah ada sejak zaman dahulu kala. “Entah siapa yang membuat mobil ini, namun yang jelas sebelum ada mobil di Indonesia di sini sudah ada,” ujar pria 35 tahun ini.

Dulunya bangunan berupa mobil tersebut dibuat dengan menggunakan kayu yang dibentuk sedemikian rupa menyerupai sebuah mobil. Namun karena kayunya sudah mulai keropos dengan tidak menghilangkan ukuran, bentuk dan desainnya bangunannya pun direhab ulang dengan menggunakan batu dengan tujuan agar lebih awet dan tahan lama.

Ida Bhatara yang berstana di Mobil Jimmy tersebut adalah Ida Bhatara Ratu Gede Ngurah dan Hyang Mami. Entah siapa beliau yang jelas, dia menyebutkan itu adalah leluhur dari krama Desa Karang Dawa yang sangat disungsung hingga kini oleh sekitar 80 KK krama pangempon.

Medal dengan Mobil Saat Grubug Krama Jadi KeneknyaSementara di palinggih mobil yang bentuknya sedan itu ada juga Ida Bhatara yang malinggih yang tidak jelas diketahui itu sebagai Bhatara siapa namun yang jelas itu adalah leluhur dari krama.

Pada saat malam hari seringkali krama mendengar suara deru mobil dengan kecepatan tinggi menuju arah barat laut. Bahkan krama setempat yang lain ketika ditanya juga menyebutkan saat malam hari tampak seperti mobil yang lewat dengan suara deru yang keras dengan sinaran lampu yang begitu terang. Namun deru itu hanya sepintas saja dan lari bagaikan pesawat jet yang sudah tidak tampak lagi ke mana perginya.

Namun menurut kelian Desa, mobil tersebut keluar yang dikendarai langsung oleh Ida Bhatara sendiri dengan keneknya dari desa setempat. Namun sayang, kini bukti orang yang menjadi kenek tersebut sudah almarhum. Sebelum meninggal dia katanya sempat bercerita bagaimana dirinya menjadi kenek. Sebagaimana mobil biasa, perlu adanya lampu sein, rem dan lain sebagainya hal itupun dilihat langsung oleh juru kenek yang mengikuti ke mana sang sopir mengarahkan setirnya.

Mobil tersebut katanya ke luar di saat ada grubug di daerah lain yang mana tujuan keberangkatan ini adalah untuk memberikan bantuan pengobatan oleh Ida Bhatara. Dengan demikian disebutkan, di sini juga banyak orang yang datang secara diam-diam untuk mendapatkan merta, anugerah untuk menjadi seorang pengusada mumpuni.

Bagi balian yang ingin mempertajam ilmunya bisa saja matirtayatra ke pura ini, atau bahkan juga bisa meditasi. Karena suasana yang sepi sangat mendukung untuk kegiatan meditasi maupun melakukan kegiatan ritual keagamaan lainnya.

Rencang Ratusan Bojog
Yang menambah keangkeran dari Pura ini adalah bentuk patung-patung kuno yang sangat aneh-aneh. Ada hanya tinggal kepalanya saja, ada tinggal badannya saja. Ini terjadi karena pergerakan bumi yang terus mengikis benda-benda seperti ini.

Sebagaimana pura-pura lainnya pastinya ada penjaga sebagai pengaman secara niskala dari Pura ini. Disebutkan ratusan kera yang disebutkan di atas tadi adalah rerencangan beliau. Namun tidak semuanya.

Kera-kera tersebut tampak aneh, mereka tidak masuk ke pelataran pura melainkan berdiam di sekeliling panyengker pura yang luasnya sekitar 50 are. Sambil mencari buah-buahan kecil, kera tersebut sepertinya terus mengawasi gerak-gerik krama yang datang ke Pura.

Gong Aneh
Selain keangkeran dan keanehan pura tadi, Wayan Partai juga menyebutkan di bawah sebelah timur dari Pura ini terdapat sebuah gua yang aneh. Tidak sembarangan krama yang bisa datang ke tempat ini.

Menurutnya goa yang ada di pinggang jurang ini tidak bisa dilalui langsung turun dari pura ini, karena sebelah pura sudah langsung jurang, hanya ditutupi semak dan juga pohon juwet dengan rindangnya, hingga pinggir jurang pun tidak tampak. Untuk mendapatkan lokasi ini biasanya dilewati dengan cara berjalan di pinggiran laut lewat barat dengan jarak tempuh hingga dua jam lebih lamanya dari desa setempat.

Di goa ini menurutnya ada sebuah hal aneh di mana ada seperangkat gambelan gong yang lengkap bahkan sangat lengkap. Yang dibentuk menggunakan batu padas. Dia perkirakan benda tersebut sudah ada lebih dari 500 tahun lamanya. Selain gong batu tersebut juga ada yang patung orang yang sedang memegang gamelan layaknya mereka sedang megambel.

Apakah mereka dulunya itu benar, mungkinkah kena kutukan atau apa, yang jelas kelian satu ini tidak berani berkesimpulan seperti itu. Karena selain aneh juga sangat angker sekali. Sayangnya gambarnyapun tidak bisa diambil karena kebetulan saat itu pinggiran laut sedang kebek hingga tidak bisa dilalui.

Tentang Pura
Nama : Pura Paluang
Stana : Ida Bhatara Ratu Gede Ngurah dan Hyang Mami
Alamat : Desa karang Dawa, Nusa Penida barat
Piodalan : Tumpek Krulut
Pangempon : 80 KK (2008)
Mangku : Mangku Setiawan dan mangku Suar
Di pugar : tahun 2007
Kelihan Desa : Wayan Partai
Keunikan : Pura ini berisi bangunan berbentuk mobil yang mana saat melancaran Ida Bhatara menggunakan Mobil.


Sumber : Tabloid BaliagaEdisi : 45 tahun 2008
http://nusapenida.weebly.com/spiritual.html


Wednesday, January 7, 2015

Tiga Ciri Spiritualitas Bali "Sembahyang, Melukat, Meditasi"

Sembahyang
nyamenusanet.blogspot.com - Kegiatan sembahyang merupakan satu kesatuan dalam keseharian masyarakat Bali. Mengapa kita perlu sembahyang ?. Manusia terdiri dari tiga unsur penting yaitu tubuh, pikiran dan jiwa (atman) dari ketiga unsur ini dengan fungsinya masing-masing menjadikan manusia sebagai makhluk sosial religius.
Persembahyangan

Sebagai makhluk sosial manusia dalam menjalani rutinitas kehidupan ini penuh dengan tantangan dengan harapan agar hidup ini bisa bahagia dan sejahtera. Jika kita melihat kehidupan dari aspek sosial, tampak bahwa tubuh dan pikiran kita ini mengambil porsi terbanyak untuk kita penuhi sebab kebahagiaan dan kesejateraan sesungguhnya bermuara pada pikiran manusia dan pada akhirnya pikiran itu akan mempengaruhi tubuh. Karena itu, ukuran kebahagiaan dan kesejahteraan setiap orang tergantung pemrograman bawah sadar mereka masing-masing.


Sebagai mahluk religius jiwa ini hampir jarang mendapat perhatian. Ada yang berpendapat bahwa dengan hidup penuh keberlimpahan kepuasan jiwa ini sudah kita penuhi. Bahkan perasaan bahagia pun banyak diasosiasikan dengan kepuasan jiwa (bathin). Perasaan damai, bahagia, sukses, sejahtera atau apapun istilahnya merupakan buah pikiran manusia. Karena pikiran selalu berubah-ubah (tidak kekal).

Dengan demikian dapat dikatakan semua buah pikiran manusia sesungguhnya bukan merupakan akhir dari perjuangan jiwa di dunia ini dengan kata lain kebahagiaan, kesejahteraan serta berbagai buah pikiran lainnya hanya merupakan rangkaian dari perjalanan panjang sang jiwa untuk melakukan evolusinya.

Kerinduan sang jiwa untuk bersatu dengan Sang Pencipta, Tuhan Yang Maha Esa. Salah satu cara untuk memenuhi kerinduan Sang jiwa dalam perjalanan panjang lahir di dunia ini adalah “Sembahyang”. Agar kerinduan Sang Jiwa semakin cepat kita dapat pertemukan dengan Sang Pencipta maka wajiblah kita melakukan persembahyangan setiap hari. Karena itu semua agama menuntun umat-Nya untuk rajin sembahyang

Melukat
Air merupakan sumber kehidupan di dunia ini, bagi masyarakat Bali, air suci sangatlah disucikan. Salah satu fungsi air dilihat dari aspek religius, air merupakan media untuk melakukan penglukatan (ruwatan). Karena berfungsi sebagai media, maka air dipandang sebagai zat cair dalam wujud fisik yang dapat mengantarkan energi bagi kehidupan ini. Bagi kebanyakan orang energi tidak dapat dilihat (kecuali mereka yang sudah waskita), maka air berfungsi ganda yaitu sebagai media dan sekaligus sumber energi.

Tempat Melukat

Sebagaimana benda lainnya di dunia ini, tubuh sesungguhnya adalah kumpulan energi, pikiran pun sebuah energi karena itu orang waskita akan dapat membaca pikiran seseorang melalui sebaran energi yang terpancar melalui pikiran seseorang / gerak anggota tubuh.

Dalam proses melukat, dua energi bertemu menjadi satu. Kekuatan energi dari sumber air sebagai media melukat sangat menentukan keberhasilan proses pembersihan badan energi manusia. Karena itu kesucian sumber air sebagai media penglukatan sangatlah penting untuk kita perhatikan. Berdasarkan penelitian melukat / ruwatan merupakan proses pembersihan badan energi manusia melalui media air (70 % tubuh terdiri dari air), vibrasi doa selama proses melukat juga akan berdampak positif terhadap molekul air. Kestabilan cairan tubuh akan mendukung kesehatan fisik maupun rohani.

Dengan demikian melukat merupakan sebuah keharusan jika kita ingin meningkatkan derajat kehidupan spiritual kita. Dalam proses melukat, pikiran pun tenang. Hal ini terjadi karena pikiran sebagai sebuah energi mendapatkan vibrasi dari media air yang mengandung sumber energi kesucian, secara fisik dapat kita rasakan kesejukan pikiran sehabis melukat.

Meditasi
Proses Meditasi

Meditasi adalah teknik komunikasi pikiran dan tubuh agar jiwa (atman) dapat bertemu dengan Sang Pencipta dalam kerinduan panjang selama evolusi kelahiran yang berulang-ulang di dunia ini. Meditasi merupakan kegiatan spiritual untuk pencerahan jiwa.

Orang-orang yang rajin sembahyang, melukat dan meditasi secara spiritual jiwanya akan selalu dekat dengan Sang Pencipta. Pikiran dan tubuh pun akhirnya selaras dengan jiwa yang suci. Dengan demikian pikiran negatif seperti marah, benci maupun iri tidak akan mendapat tempat dalam pikiran bawah sadar kita sehingga mereka akan menjadi orang yang murah senyum dan ramah. Jika sikap ini diikuti dengan keikhlasan maka jiwa ini akan semakin lapang.


Sumber : Spiritual Kundalini Bali
http://spiritualkundalinibali.wordpress.com/2009/05/19/sembahyang-melukat-dan-meditasi/


Monday, January 5, 2015

Pengertian dan Manfaat Tirtayatra Menurut Spiritual Kundalini Bali

nyamenusanet.blogspot.com - Dalam Agama Hindu ada empat jalan untuk mencapai atau menuju Tuhan yaitu yang disebut dengan Catur Marga atau disebut juga Catur Marga Yoga yang terdiri dari :
1. Jnana Yoga yakni cara mencapai atau menyatukan diri dengan Tuhan dengan mengabdikan ilmu pengetahuan untuk kebaikan orang banyak
2. Raja Yoga yakni cara mencapai atau menyatukan diri dengan Tuhan dengan melakukan brata ,tapa, yoga dan semadhi
3. Karma Yoga yakni cara mencapai atau menyatukan diri dengan Tuhan dengan melakukan perbuatan-perbuatan mulia dan bermanfaat tanpa pamrih
4. Bhakti Yoga yakni cara mencapai atau menyatukan diri dengan Tuhan dengan melakukan kebaikan dan sujud bhakti yang tulus dan terus-menerus

Walaupun ada empat cara tetapi tidak ada yang lebih tinggi maupun yang lebih rendah semuanya baik dan utama tergantung pada bakat atau kemampuan masing-masing. Jalan yang satu berhubungan erat dengan yang lainnya, semuanya akan mencapai tujuannya asal dilakukan dengan tulus ikhlas, ketekunan, kesujudan, keteguhan iman dan tanpa pamrih. Tanpa pamrih adalah melakukan perbuatan-perbuatan atas dasar kesucian dengan penuh keikhlasan demi kesejahteraan umum dengan tidak mengharapkan hasilnya untuk kepentingan diri sendiri.

Jika seseorang mempunyai perasaan yang halus dan mempunyai ketekunan dalam memuja Tuhan maka Bhakti Yoga yang patut ditempuh. Perwujudan Bhakti Yoga adalah melakukan yadnya dan pemujaan atau persembahyangana secara tekun dan terus-menerus. Salah satunya adalah melakukan tirtayatra.
Pura Besakih Bali
Tirtayatra berasal dari bahasa Sansekerta, Tirta dan Yatra. Tirta artinya pemandian, sungai, kesucian, air, toya atau air suci, sungai yang suci. Secara kenyataan pengertian tirta mengarah ke wujud air. Sedangkan Yatra berarti perjalanan suci. Jadi Tirtayatra adalah perjalanan suci untuk mendapatkan atau memperoleh air suci.
Tirtayatra dalam bahasa sehari-hari di Bali dipahami dengan tangkil atau sembahyang ke pura-pura. Tirtayatra tertulis dalam Kitab Sarasamuscaya 279 yaitu keutamaan tirtayatra itu amat suci, lebih utama dari pensucian dengan yadnya, tirtayatra dapat dilakukan oleh orang miskin. Artinya tirtayatra tidak memandang orang dalam status apapun baik kaya atau miskin asal didasarkan melalui pelaksanaan bhakti yang tulus ikhlas, tekun, sungguh-sungguh dan nilai kesucian atau kualitas kesucian tirtayatra lebih utama daripada membuat upacara banten, walaupun upacara itu tingkatannya utama. Hal ini juga sangat sesuai dengan pesan kebenaran yang pernah disampaikan oleh Guru Sejati Kundalini yaitu Bapak I Putu Ngurah Ardika, S.Sn bahwa melakukan perjalanan suci atau matirtayatra lebih utama nilainya daripada melakukan upacara yadnya. Maka dari itu rajin-rajinlah melaksanakan tirtayatra atau menyucikan diri dengan melaksanakan sembahyang, karena sembahyang adalah tuntunan wajib bagi umat manusia, apapun agamanya, keyakinan dan kepercayaannya. Tirtayatra sebenarnya sudah banyak dilakukan oleh umat sejak dulu, sejalan dengan kemajuan dan meningkatnya kesejahteraan maka tempat suci yang dikunjungi semakin luas. Umat semakin menyadari bahwa tirtayatra adalah sebuah yadnya yang paling mudah dilakukan karena dapat dilakukan oleh siapa saja.

Perjalanan suci atau tirtayatra bukanlah perjalanan biasa untuk bersembahyang, namun didalamnya termuat pengendalian diri dan pengekangan diri. Dalam kegiatan tirtayatra terjadi suatu interaksi yang positif diantara para pelaku tirtayatra. Tirtayatra akan mendekatkan antara umat satu dengan yang umat lainnya karena dalam perjalanan akan terjadi suatu komunikasi sosial, suka duka, canda ria dan interaksi lainnya. Tirtayatra juga mendekatkan antara umat dengan tempat suci atau pura dalam pengertian si pelaku tirtayatra akan mengetahui lebih dekat dan lebih dalam mengenai situasi, lokasi, sejarah serta nilai kesucian dan kebenaran yang terkandung pada tempat suci yang dikunjungi. Tirtayatra juga mendekatkan antara manusia dengan Sang Pencipta melalui pemujaan yang dilakukan di tempat suci yang dikunjungi. Dengan adanya kedekatan-kedekatan tersebut akan semakin menambah kekaguman akan kemahakuasaan Tuhan dan meningkatkan rasa bahkti kehadapan-Nya.

Tirtayatra adalah sebuah kegiatan suci dalam rangka penyucian diri secara lahir bathin, dimana di dalamnya terkandung unsur-unsur seperti :
1. Yatra atau perjalanan suci dalam suasana pengendalian diri, upawasa(puasa), japa (melantunkan mantra tertentu), dalam hal ini adalah proses tapa sebagai sebuah proses Raja Yoga.
2. Pemujaan dengan sujud bhakti dan pemusatan pikiran (Bhakti Yoga) yang apabila dilakukan secara rutin dan tekun akan menghapus kebodohan serta akan memberikan pencerahan yang merupkan proses Jnana Yoga.
3. Parahyangan atau pura atau tempat suci sebagai tempat untuk memuja Ida Sang Hyang Widhi Wasa atau manifestasiNya.
4. Tirta atau air suci sebagai simbul waranugraha dan pancaran sinar suci Tuhan.
5. Dana punia atau pemberian sedekah sebagai ujian atau tapa dalam melepaskan keterikatan jiwa ini dengan benda-benda duniawi.

Sehingga dengan demikian tirtayatra yang dilakukan dengan tekun dan teratur serta sungguh-sungguh dengan penuh kesetiaan, konsentrasi dan kecintaan adalah merupakan pengejawantahan dari Catur Marga. Tirtayatra adalah jalan yang sederhana namun utama. Tirtayatra adalah investasi yang sudah pasti mendapatkan kebaikan.

Tirtayatra akan meningkatkan keyakinan atau srada dari umat terhadap kebenaran dan kemahakuasaan Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Dengan bertirtayatra sebenarnya manusia telah menjaga ketiga aspek keharmonisan hidup di dunia yakni Tri Hita Karana yakni aspek pawongan, palemahan dan parahyangan.

Dengan bertirtayatra mengarahkan badan dan jiwa kepada kesehatan, ketentraman, kedisplinan, kebijaksanaan, keharmonisan, kehormatan, kesucian, kebenaran dan terakhir kemanunggalan dengan Hyang Pencipta. Melalui tirtayatra manusia menuju pada penebusan dosa, pembebasan keterikatan, mencapai hidup yakni Mokshartam Jagadhita ya ca iti Dharma.

Bertirtayatra akan mendapatkan pancaran kesucian pikiran, perkataan dan perbuatan (Tri Kaya Parisudha). Dalam hal ini akan terlatih dalam pengendalian diri dalam kesucian, aura kesucian ini akan terpancar pada orang-orang yang ada di dekatnya, ataupun pada lingkungan tempat mereka tinggal.

Tirtayatra menumbuhkan kepekaan sosial, meningkatkan gairah seni dan keselarasan jiwa. Dengan cara sederhana ini kita memuja mohon restu dan anugrah kesucian. Semakin sering dan tekun dilakukan maka semakin terbuka jalan menuju penyatuan dengan Sang Hyang Sangkan Paraning Dumadi.

Ketika kelak nanti Sang Jiwa telah meninggalkan badan kasar ini maka teman sejati yang akan mengantar adalah subha dan asubha karma atau catatan tentang perbuatan baik dan perbuatan buruk yang dilakukan selama diberi kesempatan di dunia ini. Kebajikan-kebajikan spiritual yang telah diperbuat di dunia ini yang mengantar sang jiwa menuju alam yang lebih mulia dan sebaliknya kegiatan buruk akan mengantar sang jiwa menuju alam yang lebih rendah.


Sumber : Spiritual Kundalini Bali (http://spiritualkundalinibali.wordpress.com/2009/05/15/tirta-yatra/)

Thursday, January 1, 2015

Obyyek Wisata Kertagosa Klungkung - Bali

nyamenusanet.blogspot.com - Kertagosa salah satu objek wisata yang terletak di tengah - tengah Kota Kabupaten Klungkung, Bali, kira-kira 40 km ke arah timur dari Denpasar. Kertagosa merupakan tempat pembahasan segala sesuatu bertalian atau berkaitan dengan situasi keamanan, kemakmuran serta keadilan wilayah kerajaan berpusat di Gelgel. Wisatawan saat liburan dan ingin menikmati peninggalan sejarah jaman jayanya kerajaan Waturenggong, cobalah berkunjung dan tour ke sini, anda bisa juga sewa Motor , kalau dari bandara ambil jurusan ke Timur lewat jalan Ida Bagus Mantra, belok ke Utara menuju pusat kota.
Objek wisata Kertagosa terdiri dari dua buah bangunan (bale) yaitu Bale Kerta Gosa dan Bale Kambang. Disebut Bale Kambang karena bangunan ini dikelilingi kolam yaitu Taman Gili. Keunikan Kerta Gosa juga bangunan Bale Kambang ini adalah pada permukan plafon atau langit-langit bale ini dihiasi lukisan tradisional (gaya wayang). Fungsi dari kedua bangunan terkait erat dengan fungsi pendidikan lewat lukisan-lukisan wayang, kisahnya dipaparkan pada langit-langit bangunan. Cerita dalam lukisan tersebut adalah berisi tentang Tantri kemudian tentang cerita Bima Swarga yang banyak sekali memperlihatkan ajaran mengenai hukum karma phala, serta cerita tentang penitisan kembali (reinkarnasi) ke dunia karena perbuatan dan dosa-dosanya.

Gapura Kertagosa - sebuah gapura bersejarah saat jaman kerajaan Gelgel di Kelungkung. Posisi Kerthagosa terletak di tengah-tengah kota, sehingga mudah untuk di kunjungi. Biasanya kunjungan ke sini saat perjalanan ke Besakih atau ke Goalawah
Gapura Kerta Gosa Klungkung - Bali

Daya tarik dari balai Kerta Gosa ini adalah terletak pada langit-langit bangunan terdapat lukisan-lukisan wayang, memiliki cerita tentang kehidupan sehari-hari, wejangan/ petuah, hukum karma phala, ramalan gempa dan filsafat hidup. Disamping balai Kerta Gosa terdapat banguan dikelilingi oleh kolam bernama Taman Gili.

kertagosa - taman indah dengan bangunan yang memiliki nilai historis, terdapat berbagai lukisan wayang kamasan di bagian langit-langit bangunan yang menceritakan dan berisi kisah mahabrata, sutasoma dan ni diah tantri
Kerta Gosa Klungkung - Bali
Jadi yang mendominasi cerita pada atap bale ini adalah tentang perbuatan kharma pala sehingga bale ini pada waktu kerajaan dulu difungsikan untuk pengadilan. Tak kalah  menarik kursi peninggalan jaman kerajaan, sudah sempat direnovasi masih tertata rapih seperti bagaimana posisinya pada jaman kerajaan dulu.
Suasana kerajaan sangat terasa di tempat ini, semua tertata rapi dan bersih. Tentunya kepedulian Pemda setempat untuk merawat salah satu tempat yang bersejarah di pulau Bali.
Lukisan-lukisan wayang yang ada berada di langit-langi bangunan Kertagosa adalah merupakan hasil karya seni klasik gaya Kamasan, bahkan sampai sekarang desa Kamasan masih melestarikan gaya seni lukis tradisional ini. Desa tersebut terletak 4 km sebelah Selatan kota Smarapura ini, perkembangan seni lukisnya memang diakui serta dicintai oleh raja Waturenggong yang memerintah Gelgel pada saat itu, sehingga warisan seni lukis dari jaman kerajaan tersebut masih bisa kita temukan di Kertagosa. Sebagai warisan budaya.
Pulau Dewata ini seperti mutiara kecil, memancarkan aura sinar begitu mempuni menarik minat para wisatawan untuk tidak bosan-bosannya mengeksplorasinya. Sebagai tavel agent selain berkomitmen memberikan layanan lengkap, kami juga menyediakan beragam tiket seperti watersport terletak di Tanjung Benoa, adventure atau petualangan seperti arung jeram serta lazim disebut rafting lokasinya ada di Sungai Telaga Waja dan Ayung, tersedia juga voucher cruie untuk Bali Hai dan Quicksilver,  Odyssey Submarine, sedangkan untur tournya tersedia dari setengah hari, seharian penuh dan juga untuk beberapa hari sampai 6 hari 
Dan untuk melengkapi pengetahuan anda mengenai tempat-tempat menarik sebelum berlibur ke pulau Dewata, maka silahkan baca informasi objek wisata di Bali.
Berkunjung ke Pualu Dewata Bali jangan lupa menggunakan jasa kami Penyewaan Sepeda Motor termurah, mudah dan efektif di Bali. Datang ke Bali ingat www.nyamenusanet.blogspot.com

Destinasi Penyeberangan ke Nusa Penida

nyamenusanet.blogspot.com - Pulau Nusa Penida hanya bisa diakses melalui jalur laut. Mengapa demikian, karena pulau Nusa Penida merupakan pulau kecil dari Bali yang dimana didalamnya banyak terdapat tempat wisata yang belum diketahui orang banyak dan masih banyak orang yang belum mengetahui tempat dan biaya penyeberangan. Jika melalui  jalur udara, belum memungkinkan karena belum tersedia fasilitas Bandara. Titik pemberhentiannya pun sebagian besar berpusat di bagian utara dan timur Pulau sedangkan di bagian selatan dan barat sulit disinggahi kapal karena berbatasan langsung dengan tebing yang curam dan besarnya ombak dari Samudra Hindia. Ada lebih dari 6 pintu penyeberangan di Nusa Penida dengan tujuan area pendaratan yang berbeda di daerah daratan Bali.

Sarana transportasi sendiri tersedia mulai dari sampan tradisional dengan mesin tempel yang memiliki kekuatan sekitar 120 PK (Sampan), boat cepat (speed boat), kapal roro Nusa Jaya Abadi ( Transportasi utama) sampai kapal cruise yang sebagian besar bertujuan ke Nusa Lembongan.

Waktu yang diperlukan untuk masing-masing moda transportasi sangat bervariasi mulai dari 30 menit sampai ada yang harus sampai 1, 5 jam tetapi perlu diingatkan bahwa semua juga tergantung dari situasi dan kondisi alam. Anda bisa menentukan sendiri moda yang anda pakai yang pasti menyesuaikan dengan tujuan dan kebutuhan anda.

Setiap perjalanan yang anda lakukan akan memberi pengalaman baru yang akan dengan kesan dan nuansa berbeda. Perjalanan lewat laut akan membawa anda menikmati indahnya laut nusantara dan birunya lautan yang begitu memukau.

Mari kita simak beberapa penyeberangan ke Nusa Penida :

 Kapal Roro (Roll of Roll on) Nusa Jaya Abadi
Kapal Roro Nusa Jaya Abadi

Jika anda ingin menyeberang dengan menggunakan kapal Roro anda terlebih dahulu harus menuju ke Pelabuhan Padang Bai yang berada di Desa Padang Bay, Kecamatan Manggis, Kabupaten Karangasem. Pelabuhan ini menjadi pintu utama penyeberangan untuk Bali ke wilayah timur Indonesia.
Dibutuhkan waktu sekitar 45 menit dari pusat kota Denpasar dengan mengambil jalur timur yang searah menuju kabupaten Klungkung dan Karangasem. Dengan kapal roro memungkinkan anda untuk membawa lebih banyak barang bawaan termasuk mobil/sepeda motor. Keberangkatan dilaksanakan sebanyak dua kali dalam satu hari. Keberangkatan pertama jam 11.00 Wita dan yang kedua jam 13.00. Kapal ini memiliki kapsitas lebih dari 250 penumpang, puluhan sepeda motor dan kendaraan roda empat.
Perlu diketahui tarif Penumpang Kapal Roro Nusa Jaya Abadi per Desember 2014 :
Dewasa Rp.27.300,-/orang + Sepeda motor Rp.39.000,-/motor, sedangkan untuk mobil roda empat Rp. 277.800,-/mobil, utuk tarif Truck Rp. 355.000,-/Truck. Tariff ini berlaku per 1 juni 2014. Untuk lebih jelasnya daftar harga tiket Kapal Roro Nusa Jaya Abdai dapat dilihat pada Papan Pengumuman yang sudah ditempel pada masing-masing pelabuhan.

 Kapal tradisional (Sampan)
Sampan Pelabuhan Tradisional

Sampan yang berangkat dari Kusamba memerlukan waktu 1 jam perjalanan. Harga tiket lebih murah hanya Rp.25.000 per orang. Untuk pemberangkatan dari pelabuhan Kusamba, Sampan akan mendarat di Toya Pakeh, pemberangkatan dari banjar Bias akan mendarat di pelabuhan dekat kantor camat dengan harga tiket Rp. 35.000/orang, sedangkan yang dari Tri Buana akan  mendarat di Tambak, Banjar Mentigi (dekat Pelabuhan utama Nusa Penida) dan melalui sampan celebrity Rp. 65.000 di pelabuhan kampung, Kusamba.

 Boat Cepat (Fast Boat)
past Boat di Pelabuhan Padang Bay

Past Boat di Pelabuhan Sanur
Dengan Boat cepat biasanya menjadi pilihan bagi mereka yang tidak ingin berlama-lama di laut. Perjalanan dengan fast boat hanya memerlukan waktu 30 menit sampai 45 menit perjalanan tetapi biaya yang dikeluarkan lebih mahal sekitar Rp.85.000. Boat cepat biasa berangkat dari Pelabuhan Padang Bay dekat kapal roro. Biaya tiket 35.000 dengan waktu tempuh 1 jam perjalananan dan mendarat di pelabuhan buyuk.
Sedangkan fast boat express berangkat dari Palabuhan Sanur (dekat matahari terbit) dengan tujuan Banjar Nyuh dan pelabuhan Buyuk dengan tarif 85.000. 

Bagi anda yang ingin ke Nusa Lembongan bisa memakai jasa Sampan dari Sanur dan fast boat dengan tarif 65.000 yang juga dari Sanur dan Pelabuhan benoa. Secara umum operasional dibuka mulai jam 08.00 sampai 16.00 yang juga menyesuaikan dengan kondisi di laut.

Setiap fast boat memiliki kapasitas yang berbeda mulai dari yang berkapasitas 15 orang sampai 60 orang. Fast Boat juga memiliki fasilitas lebih lengkap dan mungkin lebih nyaman serta cepat.

 Cruise (kapal cepat dan besar)
Perjalanan penyeberangan dengan cruise mungkin menjadi suatu hal yang istimewa tetapi tarif mahal mungkin menjadi kendala. Keberangkatan dengan cruises mulai dari Pelabuhan Benoa. Sebagian besar cruise bertujuan ke Nusa Lembongan kecuali Quicksilver cruise yang mendarat di Toya Pakeh.

Penyeberangan dengan Cruise menjadi pilihan utama bagi para wisatawan yang ingin berplesiran ke daerah wisata Nusa Lembongan. Ada beberapa cruise yang melayani rute Benoa – Nusa Lembongan antara lain; Bali Hai Cruise, Bounty Cruise, Sail Sensation, Marina dan banyak lagi yang lain.

Jalan-jalan ke Bali jangan lupa menggunakan Jasa kami Penyewaan Sepeda Motor termurah di Bali dengan pelayanan yang ramah dan pasilitas motor metic yang terbaru. Bisa dirasakan perbedaannya,