Monday, April 4, 2016

Konsep Tri Kona dan Tradisi Beragama

nyamenusanet.blogspot.com - Dalam susastra Hindu, Tri Kona merupakan sifat kemahakuasaan Tuhan, tak ada yang luput dari pengaruhnya. Di mana pun dan dalam bidang apa pun Tri Kona selalu membayangi kehidupan, cepat atau pun lambat. Tri Kona itu adalah utpati (ciptaan atau awal dari kehidupan), sthiti (memelihara atau meneruskan kehidupan) dan pralina (melebur atau mendaur-ulang kehidupan). Kalau kehidupan ini dicarikan contoh mudah, upati itu bisa disebut kelahiran, sthiti adalah kehidupan itu sendiri dan pralina adalah kematian. Tak ada makhluk apa pun yang terbebas dari tiga sifat ini.

Inti dari Tri Kona adalah perubahan. Dan perubahan itu sendiri tidak dapat dihindari. Karenanya di setiap aspek kehidupan apakah itu berupa kahyangan atau tempat suci, palemahan atau lingkungan di sekitar kita, mau pun pawongan atau hubungan antar manusia, selalu mengalami perubahan. Jadi yang abadi dalam Tri Hita Karana itu hanyalah perubahan.

Bali di masa lalu adalah lingkungan yang asri dan indah dikagumi dunia. Gadis-gadis mandi di pancuran bertelanjang dada dan mencuci pakaian di sungai yang jernih. Sawah dibuat dengan terasering yang berliuk-liuk di tebing. Itu bisa diumpamakan sebagai utpati, awal dari kehidupan yang mempersona. Kehidupan ini terus dipelihara sebisa-bisa kita memelihara, sthiti berlangsung sesuai dengan kodratnya dan tergantung dengan perjalanan peradaban. Kemajuan membuat air dari pancoran digiring ke desa dan dibagikan ke rumah-rumah, teknologi membuat orang mencuci memakai mesin, tak lagi di sungai. Lama-lama penduduk pun bertambah, membutuhkan lahan untuk perumahan. Dan sawah yang indah itu pelan-pelan berubah fungsi menjadi perumahan. Sawah di-pralina menjadi tegalan dan tegalan di-pralina menjadi rumah. Kini rumah pun di-pralina menjadi ruko.

Inilah kekuasaan Tri Kona yang tak bisa dibendung. Bukan saja pada alam, juga hubungan antar manusia. Awalnya semua penduduk bertani atau nelayan jika di pesisir, rumah diterangi lampu templok memakai minyak tanah. Dan penduduk pun biasa berkumpul di balai banjar, latihan menari atau mekidung. Pergelaran tari maupun pertunjukan menjadi meriah. Joged, topeng, wayang, janger semuanya hidup. Lama-lama listrik masuk, ada radio dan televisi yang membuat orang lebih senang berada di rumah, ada pula sepeda motor. Maka kumpul-kumpul di balai banjar jadi jarang, menonton arja jadi malas karena lebih senang menonton film di televisi. Kebiasaan di masa lalu termasuk kesenian yang diwariskan leluhur itu pun bagaikan di-pralina. Tidak ada lagi janger atau arja.

Begitu pula dengan upacara yajna. Selalu mengalami perubahan seiring dengan perubahan yang ada di alam. Juga perubahan karena manusia itu sendiri berubah menjadi lebih moderen. Namun dalam ritual ini yang berubah itu adalah bentuk phisik yang bisa dilihat. Bunga lebih segar karena ada banyak pilihan bunga yang baru. Begitu pula buah. Juga janur bisa berubah menjadi ibung yang didatangkan dari Sulawesi. Diciptakan (utpati) tradisi baru dalam membuat sarana upacara yadnya.

Dalam hal sthiti yang dipelihara adalah aspek ritual itu sendiri yang berdasarkan ajaran yang tertuang dalam susastra Hindu. Piodalan di pura, tata cara melakukan persembahyangan, kidung yang menyertai, siapa yang berhak memimpin ritual dan apa tingkatan yadnya itu, terus dipelihara sesuai dengan perkembangan yang ada.

Lalu adakah yang di-pralina? Yang di-pralina adalah aspek-aspek ritual yang bertentangan dengan susastra Hindu atau yang lazim disebut tatwa Hindu. Tradisi keagamaan Hindu yang sudah ketinggalan zaman dan secara nyata bertentangan dengan tatwa agama Hindu harus di-pralina. Tradisi tidak boleh menodai kesucian agama. Sudah banyak tradisi yang di-pralina dan itu berlangsung sambung-menyambung. Misalnya tradisi upacara yajna yang berlatar belakang wangsa, seperti perkawinan antar wangsa yang disebut nyerod, sehingga mempelai wanita dikenakan upacara Patiwangi. Tradisi yang lahir dari apa yang disebut kasta, karena yang seharusnya terjadi adalah berdasarkan warna, Catur Kasta tidak ada karena yang ada Catur Warna.

Dengan demikian antara tradisi yang lahir dari adat istiadat dengan agama yang dasarnya ada dalam tatwa yang tersurat dalam kitab suci, sesungguhnya dua hal yang bisa dipisahkan. Jadi tidaklah benar anggapan umum selama ini bahwa adat dan agama tak bisa dipisahkan di kalangan umat Hindu. Ritual agama dalam bentuk sarana bisa berubah sesuai konsep Tri Kona, tradisi beragama pun bisa berubah sesuai konsep Tri Kona itu, tetapi tatwa tetap tak berubah karena rujukannya adalah wahyu dari Tuhan, Hyang Widhi Wasa. (*)

No comments:

Post a Comment

Silahkan tinggalkan pesan